Air Untuk Semua : Masa Depan Jakarta Tanpa Privatisasi Air
Jumat, 1 Maret 2019, Rujak Center for Urban Studies mengadakan Diskusi Publik yang bertema “Air Untuk Semua : Masa Depan Jakarta Tanpa Privatisasi Air”. Diskusi ini dilakukan sebagai bentuk dukungan terhadap rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan swastanisasi air di Jakarta dengan mengambil alih kepemilikan dan pengelolaan air secara penuh dari swasta yang diumumkan oleh Gubernur DKI, Anies Baswedan pada 11 Februari 2019 di Balai Kota. Dalam pembukaannya, Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center, menyatakan buruknya kondisinya pelayanan air di Jakarta memaksa warga miskin Jakarta untuk tetap miskin karena terpaksa mengeluarkan uang lebih demi memenuhi kebutuhan dasarnya itu.Dia juga mendorong agar Gubernur mengambil langkah berani dan progresif dalam upaya pengambilalihan kembali pelayanan air bersih.
Diskusi yang dilakukan di Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, Jakarta dan dihadiri oleh sekitar 150 orang, dimulai dengan pemaparan salah satu narasumber, Tita Salina, seorang penggiat seni yang juga memiliki ketertarikan terhadap isu perkotaan. Pada bulan Februari 2018, Tita bersama 3 rekannya melakukan aktifitas berjalan kaki selama 11 hari yang dimulai dari ujung barat Kampung Dadap ke ujung timur Marunda. Perjalanan yang menempuh jarak 42 km tersebut dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap ancaman tenggalamnya Jakarta akibat masifnya penyedotan air tanah oleh warga termasuk gedung-gedung perkantoran, perbelanjaan, hotel, dll yang menyebabkan penurunan permukaan tanah.
Dalam perjalanan yang diberi nama “Ziarah Utara”, Tita, dkk menemukan cara pandang baru sekaligus ironi dalam relasi air dengan warga di Jakarta Utara. Misalnya, saat mengunjungi beberapa makam keramat habib dan ulama, dia selalu menemukan air yang dikeramatkan. Kondisi air tersebut sudah terkena polusi dan berwarna kecoklatan, namun peziarah seolah tidak peduli dan tetap mempercayai air tersebut adalah air suci. Menurut Tita, “air bukan hanya kebutuhan untuk tubuh tapi juga jiwa, terkait ritual dan budaya yang kental.” Lebih lanjut dia memberi contoh relasi ritual air dengan warga, “setiap hari setidaknya air digunakan sebanyak 5 (lima) kali untuk berwudhu, makna berwudhu itu adalah bersuci, tapi apakah air yang dipakai benar-benar sudah suci, apakah bisnis air (di Jakarta) ini sudah suci?”
Narasumber selanjutnya adalah Nila Ardhanie, anggota Tim Tata Kelola Air DKI Jakarta. Pada kesempatan tersebut Nila menjelaskan penyebab penurunan permukaan tanah Jakarta salah satunya adalah kegagalan Jakarta memperluas cakupan layanan. Menurut swasta, cakupan layanan mereka adalah 62 %, ini berbeda dengan temuan Amertha Institute, yang menemukan bahwa cakupan layanan hanya 35 % dan dari angka tersebut hanya 8 % yang dialirkan kepada pelanggan berpenghasilan rendah. Kegagalan memperluas cakupan layanan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong warga menyedot air tanah. Lebih lanjut Nila menjelaskan 3 opsi yang diberikan oleh tim kepada Gubernur. Pertama, terminasi (pemutusan) kontrak menggunakan dasar hukum pasal yang tersedia dalam perjanjian kerjasama, jika ini yang diputuskan akan ditempuh oleh Gubernur maka ada sejumlah dana kompensasi yang harus dibayarkan kepada pihak swasta. Kedua, pembelian saham, jika ini yang hendak ditempuh maka terlebih dahulu harus dilakukan Due Diligence (uji tuntas) untuk mengetahui nilai Palyja dan Aetra, dan ketiga adalah pengambilalihan sebagian pengelolaan air Jakarta hingga kontrak dengan swasta berakhir di tahun 2023. Nila juga menekankan pentingnya PDAM segera membuat rencana strategis untuk 20 tahun kedepan yang dapat menjamin cakupan wilayah yang terlayani hingga 100 %, airnya layak diminum, terjangkau oleh warga dan mengalir selama 24 jam setiap harinya.
Haris Azhar, Advokat dari Kantor Hukum dan Ham Lokataru, yang menjadi narasumber terakhir, menjelaskan permasalahan air dari kacamata konstitusi dan hak asasi manusia. Menurut Haris, dalam hak asasi manusia dikenal hak atas pembangunan yang termuat prinsip equity, Lebih lanjut Haris menambahkan, kegagalan negara menyediakan air kepada warganya merupakan bentuk pelanggaran konstitusi, namun dia menyayangkan hingga saat ini Indonesia tidak memiliki saluran Constitutional Complaint yang dapat digunakan warga untuk mengadukan pelanggaran konstitusi serta mendapatkan pemulihan. Haris juga mengingatkan landasan hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia yang dapat digunakan oleh Pemprov DKI penyelesaian permasalahan air di Jakarta. “dalam Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, jika pemerintah memiliki keterbatasan, maka pemerintah dapat meminta bantuan negara-negara lain atau organisasi internasional tanpa membebani pemerintah memberi keuntungan kepada pemberi bantuan.” demikian tutur Haris.
Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Yuyun Harmono dari Walhi Nasional, sejumlah warga kampung Jakarta yang hingga hari ini dirugikan akibat tidak mendapatkan pelayanan air bersih juga menyatakan pendapatnya. Bapak Bahrun, warga Kelurahan Ancol menyatakan dari 7 RW di kelurahan tersebut, hanya 2 RW yang mendapatkan pelayanan air bersih. Sepanjang 23 Tahun dia tinggal disitu, di harus membeli air dengan total pengeluaran 600-800 ribu/bulan. Kesaksian lainnya disampaikan Ibu Amini, warga Muara Baru, Penjaringan, dia menuturkan warga kampungnya terpaksa berlangganan air pada pemilik tunggal master air, dan membayar sebesar Rp. 11.500/m3 untuk tarif subsidi yang biasanya dikisaran Rp. 1.500-3000/m3.
Diskusi publik ini juga dihadiri oleh anggota Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) bidang Hukum dan Pencegahan Korupsi, Nursyahbani Katjasungkana. Beliau menjelaskan ditahun 2014, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air yang sebelumnya digunakan untuk melegitimasi swastanisasi, selain itu MK dalam putusannya telah menetapkan ukuran-ukuran yang sangat limitatif dan absolut bahwa air air harus dikuasai dan dikelola oleh negara kecuali ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh negara karena keterbatasan penguasaan teknologi, menurutnya teknologi mengelola air sederhana dan negara sudah menguasainya. Dengan tegas Nursyabani mengatakan “privatisasi air bertentangan dengan konstitusi”. Mba Nur, demikian dia akrab dipanggil, yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina YLBHI mengingatkan “Kalo kita mengatakan cinta tanah air, NKRI harga mati, maka maknanya adalah mengembalikan air kepada negara dan memenuhi hak rakyat atas air.“
Informasi lebih lanjut hubungi :
Elisa Sutanudjaja : +6282114282967
Tita Salina : +6281311351973
Haris Azhar : +6281513302342
Nila Ardhanie : +62811264565