Wabah Covid ini membuat kelompok yang memikirkan pentingnya dunia baru dan mungkin selama ini telah memasang batu batu perlawanan untuk membangun dunia baru perlu bergerak lebih cepat.
Pandemi virus Covid 19 adalah buah dari bekerjanya sistem ekonomi yang mengedepankan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, tenaga kerja, dan seluruh modal lainnya.
Tidak heran jika energi, pangan sebagai barang milik publik atau bahkan sistem sosial politik lainnya yang seharusnya bekerja untuk publik telah melenceng karena dikuasai dan diakumulasi oleh segelintir badan usaha privat.
Apakah dunia seperti ini masih dilanjutkan?
Pengalaman dalam wabah ini seperti pengalaman kita dalam menghadapi bencana besar yang pernah kita alami sebelumnya telah memperlihatkan dengan terang bahwa solidaritas antar warga sebagai penyelamat bangsa ini dari berbagai situasi genting. Modal sosial kita di sana masih ada dan barangkali masih cukup kuat.
Di sisi lainnya, kita melihat sektor privat besar, pengusaha raksasa yang selama ini telah diberi begitu banyak priveledge, seperti biasa tidak banyak membantu. Bahkan mereka tetap berperilaku sama, mengambil keuntungan sebesar-besarnya, bahkan dalam situasi kelam semacam ini.
Sebagai contoh saja, ketika warga memperlihatkan solidaritas untuk driver aplikasi transportasi online, kita bahkan tidak mendengar perusahaan aplikasi ini turut serta dalam program konkrit menyelamatkam mitranya para driver. Ketika seruan dan perintah bekerja dari rumah, tetap tinggal di rumah, dan seruan tidak keluar rumah sehingga penyebaran wabah tidak meluas, dan kita tahu perintah ini telah mengakibatkan kelompok usaha informal, buruh-buruh jatuh ke dalam situasi yang pelik, kembali warga turun tangan. Rakyat bantu rakyat demikian tagarnya.
Singkatnya, publik hari ini telah menemukan solidaritasnya, sementara pengusaha pengusaha kaya yang selama ini dimanjakan pemerintah dengan segenap regulasi dan dana tengah mencari dan menemukan cara untuk diberi dana talangan (kembali) dari uang-uang rakyat.
Apakah dunia seperti ini masih dilanjutkan?
Covid 19 ini memperlihatkan bahwa akibat demokrasi dikuasai pemodal, ketika wabah terjadi ternyata begitu sulit melakukan penerapan kebijakan untuk mencegah penyebaran virus tidak meluas sebab rakyat tak diberi kompensasi akibat pembatasan melalui anggaran yang berpihak.
Barangkali karena uang komitmen kepada pengusaha, buah kongkalikong birokrasi dan mafia anggaran yang merancang anggaran sebelum krisis corona. Sehingga sangat sulit anggaran dialokasikan ulang untuk dana sosial. Uang yang benar benar jatuh ke tangan warga negara tetap lebih sedikit dibandingkan kepada mereka birokrasi dan pengusaha, meski judulnya telah berubah menjadi program untuk petani, buruh, nelayan, korban phk dan bahkan kesehatan dalam rangka penanggulangan Covid-19.
Bahkan, kebijakan keselamatan warga harus sering berdamai jika tidak mau disebut mengalah dengan keselamatan korporasi. Tidak heran, kita menyaksikan tontonan berbagai kebijakan yang orang kampung sebut sebagai kebijakan “pagi dele sore tempe”. Berubah ubah hilang tujuan utamanya.
Apakah anda berpikir sama dengan saya, akankah tatanan politik semacam ini layak dilanjutkan?
Kawan-kawan semua, kesadaran publik perlu dibangunkan setelah sebulan lebih melakukan langkah gotong royong warga. Kesadaran mestilah melangkah maju untuk gotong royong ide dan praktik untuk mewujudkan cara bermasyarakat dan berekonomi yang baru.
Saya membayangkan, para petani yang telah bersolidaritas pangan sebulan ini sedikit banyak menemukan rantai baru kemana dan kepada siapa seharusnya pangan-pangan sehat mereka berakhir di meja makan. Itulah jalan baru yang terlihat.
Selain itu, masyarakat yang tengah dan telah melakukan donasi pangan di berbagai wilayah, juga tersadar bahwa uang-uang yang dikumpulkan dari sesama warga tidak elok rasanya dibelanjakan kepada gudang-gudang beras raksasa, perusahaan obat raksasa. Gerakan membeli langsung ke petani, membeli langsung ke UMKM atau pedagang kecil adalah keharusan.
Saya membayangkan, sekelompok mahasiswa dan aktivis IT para warga cerdas lainnya mulai merasa bahwa pembatasan sosial telah membuat perusahan IT dan ragam aplikasi untung besar. Mereka mendiskusikan untuk segara merancang aplikasi yang mempertemukan aneka kebutuhan warga dalam cara transaksi online ini ke dalam sistem aplikasi berbentuk koperasi, bukan tergila-gila untuk menjadi unicorn yang rakus.
Saya membayangkan para driver dan konsumen aplikasi online untuk apa mengunduh aplikasi, menggunakan dan memperkaya perusahaan yang tiada tanggung jawab sosial. Kita kemudian sadar untuk beralih dengan cara mengajak warga pintar IT merancang yang baru. Bentuk aplikasi baru yang dimiliki bersama oleh perancang IT, driver, dan konsumen. Sehingga kita sebagai konsumen tahu bahwa uang yang kita transaksikan akan mewujudkan keadilan sosial.
Dalam kegelapan pandemi ini, semoga mereka benar-benar ada dan kita segera berbondong-bondong mewujudkannya dalam perintah konstitusi kita: Koperasi.
Sudah saatnya, warga merancang sekolah dan universitas yang bisa diakses oleu semua dengan mengedepankan aplikasi pendidikan untuk semua.
Sudah saatnya rumah sakit, perusahaan farmasi, riset-riset kembali dimiliki warga dalam wujud koperasi. Sudah saatnya para jurnalis yang berserikat membangun media massa dalam wujud koperasi.
Lalu, sudah saatnya para pesohor dunia medsos menjadi corong pemasar bagi inisiatif warga semacam ini. Berhenti menjadi sekedar haters dan lovers elit politik.
Ya, demikianlah tatanan baru yang seharusnya segera dipandu oleh para ideolog, aktivis, selebritas agar kekayaan milik semua dan untuk semua itu bukanlah sesuatu yang utopia di zaman 4.0 ini.
Karena itu misi kita hari ini dan ke depan, belajar dari wabah ini ialah gotong royong dan tolong menolong warga sudah saatnya diwadahi dalam sistem badan usaha yang dimiliki oleh rakyat sendiri.
Kita mesti mengatur ulang relasi produksi kita, mengatur ulang badan-badan usaha kita melalui kemajuan 4.0 ini, akhirnya kita dapat mengatur ulang tatanan desa kota kita yang menghisap.
Selamat Hari Buruh 1 Mei 2020.