Jakarta, 23 April 2020. Di tengah carut marut penanganan COVID-19, bertubi-tubi kita mendapat kabar penangkapan aktivis. Peristiwa ini menambah daftar panjang pembungkaman dan pengkerdilan kebebasan masyarakat sipil di tengah pandemi. Dalam jangka waktu kurang dari seminggu, aparat menangkap tiga mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) dan Ravio Patra, seorang peneliti kebijakan publik. Situasi ini besar dugaan sebagai Penciptaan musuh untuk disalahkan jika terjadi negara gagal menangani dampak buruk Pandemi COVID-19.

Pada 19 dan 20 April kemarin, polisi menangkap Ahmad Fitron Fernanda (Fitron), M. Alfian Aris Subakti (Alfian) dan Saka Ridho (Saka). Penetapan ketiganya sebagai tersangka dengan tuduhan penghasutan tak hanya dilakukan dengan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia namun juga merupakan serangan terhadap pembela hak asasi manusia.

Fitron ditangkap di rumahnya di Sidoarjo oleh aparat yang tidak menunjukkan surat yang sah. Selang beberapa jam kemudian, kediaman neneknya di Tumpang digeledah polisi untuk mencari barang-barang yang berkenaan dengan gerakan anarko. Keesokan harinya, Alfian dan Saka ditangkap di rumahnya masing-masing.

Proses penahanan Fitron, Alfian dan Saka dipenuhi pelanggaran hak-hak. Fitron ditangkap tanpa surat yang sah dan proses penetapan ketiganya sebagai tersangka dilakukan dengan sangat cepat tanpa memperhatikan due process of law. Hingga saat ini polisi hanya mendasarkan tuduhan pada bukti yang sumir.

Belum tuntas mencerna berita penangkapan ketiga mahasiswa, kemarin (22/4) Ravio Patra, peneliti yang aktif mengkritisi kebijakan pemerintah terkait transparansi data COVID-19 dan konflik kepentingan Staf Khusus milenial, diretas gawainya. Ravio kehilangan akses terhadap akun Whatsappnya. Nahas, akun tersebut ternyata sudah berpindah tangan.

Dalam keterangan Damar Juniarto (SAFEnet), tidak hanya akun Ravio diambil secara paksa; akunnya digunakan sang pencuri untuk mengirimkan pesan bertajuk:  “KRISIS SUDAH SAATNYA MEMBAKAR”, yang isinya menyerukan “aksi penjarahan nasional” pada 30 April nanti.

Malam harinya, Ravio diciduk aparat. Belum terang sebab penangkapan tersebut, sebuah website yang selama ini dikenal sebagai pendukung pemerintah (seword.com) sudah merilis informasi yang menuduh Ravio dengan sengaja memprovokasi orang untuk melakukan penjarahan. Disini terlihat upaya kriminalisasi yang diorkestrasi sedemikian rupa. Selama beberapa jam setelah ditangkap, Ravio sempat mengalami incommunicado arrestment (tidak bisa dikontak, tidak diketahui keberadaannya). Beberapa jam kemudian Humas Polda Metro Jaya mengkonfirmasi penangkapan Ravio atas tuduhan penghasutan kekerasan dan/atau ujaran kebencian melalui media sosial, tanpa klarifikasi keberadaan Ravio yang sempat tidak bisa dihubungi, menjalani pemeriksaan di Unit Keamanan Negara (Kamneg) Polda Metro Jaya.

Penahanan seseorang tanpa bisa ditemui keluarga, tanpa bisa didampingi pengacara, dan tanpa bisa memberikan kabar (incommunicado detention) selama jangka waktu tertentu adalah modus yang kian marak terjadi sejak penangkapan sewenang-wenang ratusan massa aksi #ReformasiDikorupsi September lalu. Tak berlebihan jika dikatakan ini adalah tindak penculikan yang dilegalisir dan dijustifikasi dengan berbagai alasan.

Kami menilai penahanan keempatnya termasuk dalam upaya aparat negara menciptakan dan memanfaatkan hantu “kelompok anarko”. Satu lagi entri dalam daftar panjang upaya sekuritisasi pemerintah di tengah pandemi dengan menghadirkan anarko sebagai ancaman keamanan. Tempo hari, Kepolisian baru saja mengumumkan rencana anarko melakukan penjarahan se-Pulau Jawa dan menyebarkan pengakuan Pius, seorang pencuri helm, sebagai pemimpin anarko tanpa bukti yang jelas.

Kini terminologi anarko – beserta klaim rencana mereka untuk menjarah dan menciptakan keonaran – adalah perkakas paling praktis untuk menghajar kelompok kritis atau masyarakat sipil. Formulanya sederhana: tetapkan seseorang yang kritis dan vokal sebagai bagian dari kelompok anarko, lalu ringkus.  Perlahan, “anarko” diplot sebagai kambing hitam untuk segala kericuhan hari ini dan di masa datang. Dengan demikian, kegagalan pemerintah menangani situasi di tengah pandemi dapat dialihkan ke gerombolan “anarko” yang serba tidak jelas asal usulnya itu. Pemerintah seolah jadi memiliki mandat dan justifikasi untuk melanjutkan represi kepada masyarakat sipil. Sementara itu akar dari segala persoalan – kegagalan kolosal pemerintah menghalau krisis – makin surut dari perhatian.

Apa yang dilakukan terhadap Ravio dengan mengambil alih akun secara paksa, serta menyebarkan informasi bohong seraya berpura-pura sebagai pengguna akun asli patut menyadarkan kita: siapapun dengan gawai elektronik berpotensi terjerat modus kriminalisasi dengan cara yang sangat kotor ini. Sebaliknya, sampai detik ini tidak ada informasi pihak berwajib melakukan tindakan hukum terhadap peretas handphone Ravio. Aneh.

Kriminalisasi tanpa dasar ini jelas kontraproduktif dengan langkah-langkah penanganan COVID-19 sebab hanya akan menambah ketakutan masyarakat. Tragisnya, masyarakat yang ketakutan tidak akan sanggup melihat dengan jernih: bahwa meluasnya wabah dan krisis ekonomi yang segera menghampiri sebagian besar diakibatkan oleh inkompetensi dan kelalaian akut jajaran pemerintah sendiri. Bukan “anarko”, bukan aktivis mahasiswa, pula bukan mereka yang kritis di media sosial.

Lokataru Foundation menuntut aparat kepolisian Republik Indonesia dan Pemerintah untuk:

  1. Menghentikan proses hukum Fitron, Alfian, Saka dan Ravio Patra. Segera bebaskan keempatnya, dan batalkan status tersangka ketiga mahasiswa yang tidak didasarkan bukti yang jelas.
  2. Usut dan ungkap pelaku peretasan akun WhatsApp Ravio Patra
  3. Menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat sipil dan pembela HAM lainnya
  4. Menghentikan upaya stigmatisasi kelompok anarko yang berlebihan dan sewenang-wenang.
  5. Tetap patuh pada pedoman hak asasi manusia dan konstitusi pada setiap langkah hukum yang diambil di tengah masa penanganan pandemi.

 

 

 

Mirza Fahmi

Manajer Program Lokataru Foundation