Dari tahun ke tahun, hari hak asasi manusia sedunia begitu sulit untuk dirayakan oleh kita yang tinggal di Indonesia. Tak hanya kita masih harus berjibaku menuntaskan masalah – masalah transisi demokrasi dari seperempat abad silam; hari ini, tanggal 10 Desember 2022 Indonesia kembali diperhadapkan dengan upaya – upaya pemunduran demokrasi dan kebebasan sipil oleh penguasa dan parlemen.
Tilik saja bagaimana tiga hari lalu. Dalam sebuah skenario pengesahan KUHP 2022; kita sama – sama menyaksikan undang – undang diketuk palu tanpa pelibatan masyarakat secara luas, hanya untuk menghasilkan kitab pidana yang masih mempertahankan watak penjajah di dalamnya.
Masalah semodel KUHP 2022 ini bisa kita temukan di banyak proses penyusunan undang – undang lain. Semisal revisi undang – undang anti korupsi 2019 lalu, Cipta Kerja, Mineral dan Batubara (Minerba) yang mengisyaratkan satu hal: hukum hanya menjadi alat politik untuk memperoleh kuasa penuh atas pengelolaan sumber daya sembari mengikis terus peran masyarakat luas dalam menentukan arah jalan negara.
Klaim – klaim keberhasilan ekonomi: dengan pembangunan sederet infrastruktur besar, penetapan kawasan strategis serta jadi tuan rumah bagi dua puluh negara maju nyatanya tak benar benar punya dampak langsung bagi kesejahteraan warga. Justru kasus – kasus perampasan tanah dan konflik agraria terus terjadi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat hampir 200,000 kepala keluarga terdampak akibat pembangunan proyek strategis era Presiden Joko Widodo dan akan berpotensi terus bertambah.
Atas nama kepentingan umum ratusan ribu kepala keluarga dipaksa mengalah. Tapi apa betul pembangunan – pembangunan itu punya kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat lainnya? Ternyata tidak.
Tim Jurnalisme Data harian Kompas (09 Desember 2022) melansir sekitar 183,7 juta orang (68% dari populasi) ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. (Separuh Lebih Penduduk Tak Mampu Makan Bergizi. Kompas 09 Desember 2022). Dan salah satu penyebab bagi rendahnya akses terhadap nutrisi penting untuk menekan kematian ibu dan bayi tersebut adalah akses untuk membeli bahan pangan yang sulit dan hanya menjangkau setingkat ibukota kabupaten, seperti yang terjadi di Maluku Utara (Kompas, 09/12/2022).
Belum lagi klaim transformasi ekonomi digital yang terus dibanggakan selama gelaran G20; dimana hampir bersamaan dengan acara di Bali sejumlah perusahaan start-up digital ramai – ramai melakukan pemecatan massa hampir mencapai 70,000 orang hingga bulan November 2022 (CNBC Indonesia, 21 November 2022).
Tentu jadi pertanyaan bagi semua orang; saat situasi ekonomi yang belum benar – benar pulih dari pandemi, harta 50 orang terkaya di Indonesia justru terus bertambah hingga akhir tahun 2022. Tapi bukan berarti kita bisa dengan bebas mengajukan pertanyaan itu di hadapan publik luas.
Pembungkaman terhadap kebebasan berpikir, berbicara dan berkumpul; jadi turunan persoalan serius dari model kepemimpinan yang menggunakan dalih konstitusi untuk bertindak lalim. Pekerja, pelajar, akademisi dan aktivis yang tidak bersepakat, kerap berurusan dengan hukum karena pemikiran dan ucapannya yang dinilai merendahkan atau menghina martabat pejabat, penguasa dan siapapun yang tidak tahan pada sanggahan, kritik dan gagasan.
Lebih buruk, sifat lalim kuasa semacam ini juga menginspirasi sesama warga untuk memenjarakan warga lainnya. Tengok saja laman Direktori Putusan Mahkamah Agung sepanjang tahun 2022: 332 kasus terdaftar dalam konteks penghinaan, pencemaran nama baik baik secara online maupun offline.
Tabiat yang berdiri di atas relasi kuasa semacam ini, jelas jadi racun dalam ruang demokrasi; yang seharusnya mengedepankan keterbukaan pikiran dan menjadikan hukum sebagai pelindung bagi hak – hak kita untuk berucap dan mengedarkan gagasan di ruang publik.
Tetapi bukan berarti 10 Desember 2022 tidak bisa dirayakan begitu saja.
Masyarakat sipil yang terus mengupayakan forum – forum pertukaran gagasan tetap dibuka, bersolidaritas pada penderitaan dan keluhan masyarakat lainnya justru menjadi subjek yang harus dirayakan pada tanggal 10 Desember kali ini. Mereka menunjukkan bahwa demokrasi masih tetap ada, dan menjadi oposisi sesungguhnya – tidak hanya bagi kekuasaan yang menindas – tetapi juga bagi kondisi masyarakat yang anti terhadap perbedaan pendapat.
Pemerintahan yang lalim, menolak untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia bisa saja jatuh atau justru memperpanjang jabatannya; tetapi masyarakat yang anti – kritik dan selalu berhasrat memenjarakan yang berbeda dengan dirinya jadi tantangan bagi kita yang masih menganggap bahwa demokrasi masih menjadi jalan ideal bagi tumbuh kembang kebebasan dan hak asasi manusia.
Salam
Lokataru Foundation