Intimidasi dan tindakan kekerasan terhadap penyelenggara dan peserta rapat konsolidasi mahasiswa di Balai Warga, yang berlokasi di sekitar Universitas Trilogi, Jakarta, oleh sejumlah preman pada 3 Februari 2024, merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan sipil untuk berkumpul, berpendapat dan berekspresi.
Sejumlah organisasi mahasiswa dan kelompok lainnya merencanakan rapat konsolidasi bertajuk “Pemilu Curang dan Pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi)” di Universitas Trilogi. Namun, beberapa jam sebelum pelaksanaan, kegiatan tersebut dilarang oleh pihak kampus. Ruangan yang akan digunakan pun dikunci, mengikuti kebijakan kampus untuk mengunci semua ruangan dan tidak memberikan izin penggunaan ruang. Dengan demikian, lokasi rapat konsolidasi harus dipindahkan ke luar area kampus dan akhirnya disetujui untuk dilaksanakan di Balai Warga.
Pada pukul 22.30 WIB, sekitar 15 orang preman mendatangi lokasi rapat konsolidasi dan merangsek masuk ke dalam Balai Warga. Para preman tersebut menuntut agar rapat konsolidasi segera dibubarkan karena pembahasan pemakzulan Presiden Jokowi dianggap sebagai penghasutan dan mengganggu ketertiban. Mereka juga menuntut untuk segera mengganti judul diskusi, menghentikan rencana demonstrasi pemakzulan Presiden Jokowi, dan mengancam akan melakukan kekerasan jika rapat konsolidasi dan demonstrasi tetap dilanjutkan.
Kemudian, seorang preman melakukan kekerasan fisik terhadap salah satu panitia rapat konsolidasi dari mahasiswa Universitas Trilogi yang sedang berjaga di depan pintu gerbang Balai Warga. Rapat konsolidasi kemudian terus dipantau dan ditekan untuk diselesaikan secepatnya dan jika tidak selesai hingga pukul 23.30 WIB, maka akan dibubarkan secara paksa. Para preman berjaga-jaga di depan gerbang Balai Warga dan menyebar di sekitar lokasi hingga akhirnya rapat konsolidasi harus diakhiri pada pukul 23.30 WIB.
Hingga saat ini belum diketahui siapa yang mendalangi pengerahan preman dan intimidasi tersebut. Belakangan, melalui penelusuran media, diketahui bahwa para preman yang terlibat diduga merupakan pendukung Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Oleh karena itu, patut diduga ada upaya penggalangan kekuatan melalui tangan-tangan pihak lain untuk mengintimidasi dan melakukan kekerasan terhadap diskusi-diskusi yang membahas kritik terhadap Presiden Jokowi terkait situasi politik saat ini.
Bukan kali ini saja terjadi intimidasi dan serangan terhadap kebebasan berkumpul, berpendapat, dan berekspresi di kampus. Setelah berbagai intimidasi dan peretasan terhadap mahasiswa pada tahun 2023, baru-baru ini Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo dan sivitas akademika UI lainnya diintimidasi terkait sikap mereka yang menyuarakan pesan kritik untuk Presiden Jokowi. Intimidasi yang datang dari aparat tersebut meminta para akademisi UI untuk tidak menyampaikan petisi tersebut.
Petisi yang diajukan oleh sejumlah akademisi di berbagai kampus lainnya juga dituduh sebagai gerakan partisan, politik praktis dan kepentingan elektoral lainnya. Celakanya, tuduhan-tuduhan itu justru datang dari orang-orang di dalam pemerintahan yang kemudian didukung oleh para pendukung Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Purbasangka dan pelabelan yang dilakukan oleh orang-orang di pemerintahan terhadap gerakan moral dan sikap kritis akademisi yang mengkritik Presiden Jokowi terkait situasi politik saat ini merupakan tindakan yang berbahaya bagi demokrasi.
Selain melanggar kebebasan sipil seperti hak untuk berkumpul, berpendapat, dan berekspresi, terutama kebebasan akademik, intimidasi dan kekerasan yang terjadi saat ini dipandang oleh Lokataru Foundation sebagai tanda-tanda kepemimpinan Presiden Jokowi yang semakin terdesak. Gelombang kritik yang meluas dalam masyarakat mengindikasikan bahwa legitimasi Presiden semakin merosot, namun pemerintah berupaya menekannya dengan menggunakan berbagai cara demi mempertahankan kekuasaannya. Praktik intimidasi dan kekerasan terhadap mahasiswa, akademisi, dan siapa pun yang mengkritik Presiden harus dihentikan. Namun, praktik seperti ini tidak akan berhenti jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum untuk menyelidiki kasus-kasus semacam ini. Diperlukan keberanian warga yang kuat dan tanpa rasa takut untuk menentang intimidasi semacam itu!
Delpedro Marhaen
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation