KUHP 2022 hanyalah politik mercusuar Joko Widodo; jadi capaian dalam menghapus simbol hukum penjajahan, namun isinya berbanding terbalik dengan semangat penguatan demokrasi dan kebebasan sipil.
Tuntas sudah penantian selama hampir 60 tahun. Indonesia kini punya kitab pidananya sendiri pukul 10.56 tadi (06/12/2022), setelah DPR resmi mengesahkan RKUHP (Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) dalam Rapat Paripurna Kesebelas dalam Tahun Sidang 2022-2023.
Ketua Komisi III Bambang Wuryanto (PDIP) dalam pidato penyampaian draft RKUHP di dalam paripurna berseloroh bahwa KUHP merupakan upaya bersama pemerintah dan legislatif mereformasi hukum pidana dalam rangka negara hukum yang demokratis. Dikuatkan juga oleh Yasonna Laoly (Menkumham) yang menambahkan begitu sulitnya mengusung misi meninggalkan kitab warisan kolonial, mengingat masih banyak menurutnya yang masih ingin bertahan dengan kitab pidana tersebut.
Ironis, saat pidato Bambang dan keluh Yasonna justru kontradiktif dengan apa yang disuarakan kelompok masyarakat sipil sejak gelombang protes merebak, September 2019 lalu hingga saat ini.
RKUHP yang digadang – gadang menjadi keberhasilan anak bangsa untuk lepas dari watak kolonial, ternyata masih mengandung sejumlah pasal bermasalah; seperti pasal penghinaan terhadap penguasa dan pejabat publik (Presiden, Wakil Presiden, parlemen), sanksi pidana bagi demonstrasi tanpa izin, serta pasal hukuman mati; pasal yang jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Lokataru Foundation menilai, KUHP 2022 hanyalah politik mercusuar Joko Widodo; jadi capaian dalam menghapus simbol hukum penjajahan, namun isinya berbanding terbalik dengan semangat penguatan demokrasi dan kebebasan sipil. KUHP 2022 yang ditulis sendiri oleh anak – anak bangsa justru memperkuat pandangan bahwa watak kolonial justru masih melekat dan melindungi kekuasaan hari ini yang anti terhadap kritik.
Terlebih, pengesahan KUHP ini juga semakin menguatkan analisa bahwa produk – produk hukum di era presiden Joko Widodo, cenderung mengabaikan yurisprudensi dengan menerapkan kembali pasal – pasal yang sempat dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang dulu menghapus haatzai artikelen (pasal 134 – 137 KUHP lama) diabaikan begitu saja; sembari membangun klaim bahwa kitab pidana ini berkiblat pada prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Sayang, ‘momen dekolonialisasi’ ini ternyata hanya menjadi seremoni kesekian kali dari pengokohan negara kuasa; setelah Cipta Kerja, KPK, Minerba dan kali ini KUHP yang makin mengecilkan supremasi sipil, sembari terus mengklaim dirinya sebagai pemerintahan yang demokratis setiap hari.