Setelah masuk ke dalam program legislasi nasional pada tahun 2016, pada tanggal 12 April 2022 Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rancangan undang-undang ini telah menjadi agenda politik gerakan perempuan dan gerakan masyarakat sipil di Indonesia selama lebih dari sepuluh tahun. Pada tahun 2012 Komnas Perempuan menyusun sebuah naskah yang pada saat diberi nama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Pada penghujung tahun 2021, judul RUU ini diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan pada bulan Januari 2022 RUU TPKS kemudian diusulkan sebagai RUU inisiatif DPR. Sejak itulah proses pembahasan RUU TPKS bergulir dengan cepat, hingga dapat disahkan dalam waktu kurang dari satu tahun.

UU TPKS adalah sebuah capaian bagi agenda kesetaraan gender. UU ini merupakan salah satu kisah sukses produk legislasi terkait hak-hak perempuan, khususnya setelah pengesahan UU Pemilihan Umum yang menetapkan kuota 30% bagi kandidat legislatif, serta UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Perempuan sebagai salah satu kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual, merupakan konstituen penting dari UU TPKS. Dengan perspektif perlindungan korban, maka UU TPKS diharapkan dapat memberikan dukungan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang selama ini takut atau enggan melaporkan kasusnya ke ranah hukum.

Pengesahan UU TPKS juga kembali menegaskan bahwa perlindungan bagi korban kekerasan seksual, baik perempuan, anak, orang dengan disabilitas, dan bagi setiap orang; adalah hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi – UUD 1945. Hal ini secara tegas dengan dicantumkannya  Pasal 28 G ayat (2) UUD 1945 sebagai konsiderans dari UU TPKS.

Ada beberapa poin penting yang perlu diapresiasi dari UU TPKS. Pertama, pengakuan atas hak-hak korban kekerasan seksual; kedua, pengakuan akan kewajiban negara atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual; dan ketiga, adanya pengakuan terhadap pentingnya pencegahan kekerasan seksual. UU TPKS tidak hanya menjadi suatu landasan hukum untuk mengatasi kekerasan seksual, tetapi juga landasan untuk mewujudkan Indonesia yang setara dan aman dari ancaman kekerasan seksual.

Atas pencapaian ini, Lokataru Foundation, menyampaikan hormat kepada para perempuan pejuang HAM, para penyintas, dan berbagai individu maupun kelompok yang secara konsisten mendorong lahirnya UU TPKS. Lokataru Foundation juga mengapresiasi kerja keras anggota parlemen yang berusaha mencari titik temu, di tengah polemik yang terjadi sealam pembahasan UU TPKS, hingga akhirnya UU ini dapat disahkan.

Pengesahan UU TPKS adalah sebuah kemajuan penting, namun hal ini masih merupakan pintu masuk bagi tujuan-tujuan untuk mencapai kesetaraan dan perlindungan HAM. Dinamika yang muncul baik di dalam proses deliberasi di DPR, maupun polemik yang berkembang di tengah masyarakat, memperlihatkan beberapa agenda penting pasca pengesahan UU TPKS.

Pertama, perlu segera disusun peraturan pelaksana dari UU TPKS, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan lainnya baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah, seperti KUHP, UU PKDRT, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kedua, perlu dilakukan sosialisasi mengenai isi UU TPKS kepada kementerian dan lembaga terkait yang bertanggung jawab dalam pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual, baik lembaga eksekutif maupun yudikatif, serta pengembangan sumber daya baik materi maupun manusia, untuk mendukung pelaksanaan UU TPKS.

Ketiga, perlu dilakukan sosialisasi dan pendidikan publik mengenai tindak pidana kekerasan seksual, sebagai bagian dari pendidikan mengenai penghormatan terhadap kesetaraan gender serta hak asasi manusia.

Pengesahan UU TPKS patut dirayakan sebagai momentum penting (milestone) dari agenda kesetaraan gender serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Tetapi kita perlu melangkah lebih lanjut untuk memastikan bahwa UU TPKS dapat dijalankan secara efektif.

Jakarta, 13 April 2022

Lokataru Foundation