[/fusion_builder_column]

Di Indonesia, tepatnya pada tahap penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) pada tahun 2020, tren serupa juga terjadi. Kelompok pelajar yang duduk di bangku sekolah menengah atas dan sederajat (SMA/STM) melakukan protes sebagai bentuk partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang (UU). Namun, mereka justru mendapat ancaman dan sanksi berupa pemecatan dari sekolah, skorsing, pencabutan beasiswa, dicatat dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), bahkan dikriminalisasi.

Pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan kebijakan untuk melarang pelajar melakukan aksi protes terhadap pembentukan UU CK. Kebijakan tersebut ditujukan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Dinas Pendidikan di setiap provinsi. Meskipun kebijakan tersebut bertajuk “preventif”, namun pada praktiknya kebijakan tersebut berujung pada ancaman, intimidasi, kekerasan, dan bahkan penangkapan.

Selama protes berlangsung, pelajar ditangkap, dihentikan, dan diarahkan untuk kembali ke rumah. Kasus seperti itu ditemukan di Jakarta, Bandung, Bekasi, Tangerang, Banjarmasin, Magelang, Solo, Kediri, Malang, Bali, dan kota-kota lainnya. Banyak dari mereka yang ditangkap mengalami kekerasan verbal dan fisik, bahkan ada yang ditangkap ketika mereka belum tiba di lokasi protes. Lebih dari 500 pelajar ditangkap dan ratusan lainnya diperintahkan untuk kembali ke rumah.

Selengkapnya dapat dilihat dalam laporan berikut

[/fusion_builder_column]