Siaran Pers Lokataru Foundation:
#UsutTuntas Belum Benar – Benar Tuntas
Lokataru Foundation menilai kerja TGIPF Kanjuruhan belum mengungkap fakta secara utuh terkait tragedi ‘pembantaian’ di Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 lalu. Mendorong pengurus PSSI untuk bertanggung jawab adalah satu hal, tetapi mengungkap kebenaran dan memastikan keadilan bagi para korban harusnya menjadi prioritas yang utama.
TGIPF dalam masa kerjanya selama 9 hari, gagal melihat bahwa apa yang terjadi di Kanjuruhan terindikasi sebagai pelanggaran HAM berat (gross human rights violation). Indikasi tersebut dibuktikan dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh pihak kepolisian pada tribun penonton yang justru banyak diisi oleh perempuan dan anak di bawah umur (tribun 10 – 13) tanpa mematuhi Prosedur Tetap Kepolisian mengenai Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan (Protap Kapolri 1/2010).
Selain itu, TGIPF juga gagal melihat ada upaya sistematis yang menghalangi korban maupun tim pencarian fakta untuk mengungkap seterang – terangnya mengenai apa yang terjadi di Kanjuruhan.
Setidaknya ada dua alasan, menurut Lokataru Foundation yang menjadi hambatan bagi TGIPF untuk bekerja secara maksimal.
Pertama, kerja – kerja TGIPF sendiri juga dibayangi dengan upaya – upaya penutupan fakta oleh pihak Kepolisian. Penetapan enam orang tersangka dengan sangkaan kelalaian (359 & 360 KUHP) serta sanksi etik terhadap personel kepolisian yang berada di stadion Kanjuruhan; belum menjawab sepenuhnya siapa pemberi perintah yang harus bertanggung jawab atas hilangnya 132 nyawa dan 500 lebih korban luka – luka.
Konstruksi tempat kejadian perkara (TKP) oleh Kepolisian hingga saat ini juga tidak melibatkan pihak korban, juga belum ada proses otopsi terhadap korban jiwa; malah justru narasi – narasi miring mengenai perilaku suporter di stadion yang justru diusut pihak kepolisian. Belakangan, saksi dan alat bukti (penjual dawet dan 46 botol alkohol) yang ditunjukkan kepolisian malah dibantah dan diragukan kebenarannya.
Kedua, tidak adanya mekanisme pelaporan khusus yang independen dan bebas dari ancaman. Perlu diketahui oleh TGIPF – terkait dengan alasan pertama – bahwa korban dari penggunaan kekuatan berlebihan dari Kepolisian memerlukan ruang aman dan bebas dari intimidasi dalam memberikan keterangan; bukan justru malah dijemput paksa.
Seharusnya dari proses pengungkapan fakta, TGPIF bisa menilai bahwa pihak Kepolisian memiliki potensi konflik kepentingan yang besar; mengingat tak hanya pelaku lapangan dan pemberi perintah diduga berasal dari personel kepolisian, tetapi juga ketua PSSI selaku pihak yang bertanggung jawab pada sepakbola nasional juga memiliki latar belakang sebagai purnawirawan polisi.
Lokataru Foundation menilai bahwa upaya untuk #UsutTuntas masih jauh dari selesai dan dibutuhkan tim independen selain pihak Kepolisian diperlukan untuk menjaga proses pengusutan kasus ‘pembantaian’ di Kanjuruhan benar – benar mengungkap siapa pemberi perintah yang menyebabkan tragedi paling buruk di sepanjang sejarah sepakbola modern.
Daywin Prayogo – Lokataru Foundation (081932223729)