Jakarta, 23 Januari 2020. Sejak diresmikannya kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020 melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, kebijakan ini telah mengakibatkan masyarakat tergopoh-gopoh menurunkan jenis kelas kepesertaannya.

Lokataru Foundation menemukan hal ini terjadi di beberapa daerah, dimana masyarakat atau peserta mandiri BPJS Kesehatan ramai-ramai turun kelas lantaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kami menilai fenomena ‘aksi’ turun kelas massal peserta BPJS Kesehatan ini sebagai indikator terdesaknya masyarakat akibat kenaikan iuran yang kian memberatkan kehidupan mereka. Hingga siaran pers ini disusun, Tempo.co mencatat terdapat 792.854 peserta yang sudah turun kelas. Dari jumlah tersebut, sebanyak 96.735 peserta turun dari kelas I ke kelas II, 188.088 peserta dari kelas I ke kelas III, serta 508.031 peserta dari kelas II ke kelas III.

Fenomena ini jelas menunjukkan betapa pemerintah dan pengelola BPJS Kesehatan telah menodai semangat Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diselenggarakan demi memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan merintis jalan menuju terwujudnya masyarakat Indonesia sejahtera, adil, dan makmur. Sebaliknya, yang tersisa kini hanyalah masyarakat yang kelimpungan mengakali beban teramat berat imbas dari kenaikan iuran, dan Negara yang seolah tidak mau peduli akan hal tersebut.

Memang, masyarakat/peserta yang tidak dapat membayar besaran iuran baru ini sebenarnya dapat memanfaatkan segmen kepesertaan PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang diperuntukkan bagi masyarakat fakir miskin dan tidak mampu. Namun, menurut catatan Lokataru Foundation, pengelolaan kepesertaan ini pun amat bermasalah, akibat kacau balaunya data kepesertaan yang berhak menerima, dan juga indikator kemiskinan penentu masyarakat tidak mampu yang sudah tidak relevan.

Lokataru Foundation menilai dampak dari kenaikan iuran dan maraknya peserta turun kelas, antara lain;

Pertama, berdampak kepada pelayanan di rumah sakit/fasilitas kesehatan. Dengan banyaknya gelombang turun kelas maka akan timbul antrian pada kelas II dan III. Kami mengkhawatirkan akan terjadi penolakan pasien, dikarenakan penuhnya ruang rawat inap pada suatu fasilitas kesehatan. Kekhawatiran ini didukung oleh pernyataan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), yang menyebutkan bahwa salah satu keluhan yang mereka sering terima dari peserta BPJS Kesehatan ialah masalah ketersediaan ruang rawat inap.

Kedua; Sebagaimana prediksi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan berdampak pada jumlah peserta non-aktif, adanya penurunan kelas peserta dan keengganan calon peserta baru untuk mendaftar.

Ketiga, apabila calon peserta baru enggan mendaftar, artinya tindakan pemerintah menaikkan iuran telah menyebabkan individu/kelompok terhalangi akses terhadap hak atas kesehatan dan jaminan sosialnya. Karena sistem jaminan sosial (jaminan kesehatan) yang diterapkan mensyaratkan agar masyarakat terdaftar sebagai peserta terlebih dahulu bila ingin menikmati layanan BPJS Kesehatan.

Hal-hal yang disebutkan di atas pada dasarnya berakar pada satu persoalan krusial: pemerintah yang tidak berpedoman kepada prinsip-prinsip hak atas kesehatan yang mengharuskan layanan kesehatan mudah diakses secara keuangan, dalam meresmikan aturan mengenai iuran baru padahal, aksesibilitas keuangan mensyaratkan agar layanan kesehatan harus terjangkau bagi seluruh masyarakat.

Di sisi lain, kita tidak dapat menutup mata terhadap tata kelola BPJS Kesehatan yang masih jauh di bawah standar. Mulai dari data kepesertaan yang tidak valid, absennya tindakan tegas terhadap ribuan badan usaha yang tidak membayar jaminan kesehatan pekerjanya, hingga pengabaian terhadap tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh oknum-oknum seperti pasien, penyedia obat, dan juga BPJS Kesehatan sendiri. Melihat rentetan persoalan di atas, jelas bahwa defisit tidak dapat serta merta ditimpakan sepenuhnya kepada masyarakat.

Setumpuk pekerjaan rumah tersebut seharusnya menjadi fokus utama BPJS Kesehatan, sebagaimana telah diungkap dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sebelum malah sibuk menyalahkan masyarakat sebagai penyebab defisit. Ironisnya, saat sedang dijerat musibah defisit, direksi beserta dewan pengawas BPJS Kesehatan malah terus menikmati uang insentif masing-masing sebesar 32,88 miliar dan 2,5 miliar. Dari segi etika publik, ini laku yang sangat tidak pantas. Dengan kualitas etika jeblok dan pelayanan yang demikian bobrok, lagi-lagi warga yang harus menanggung beban. Sampai kapan?

Lokataru Foundation menuntut:

1. Presiden Joko Widodo dan jajarannya agar bertanggung jawab menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil) hak atas jaminan kesehatan masyarakat.
2. BPJS Kesehatan untuk memperbaiki tata kelola lembaga serta permasalahan yang ditemukan dalam audit BPKP.
3. Pemerintah untuk menyesuaikan kembali besaran iuran BPJS Kesehatan yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
4. Kementerian Sosial bersama dengan Dinas Sosial di daerah untuk memperbaiki proses verifikasi dan validasi masyarakat yang berhak menjadi peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan serta memperbaharui indikator kemiskinan yang sudah tidak relevan.