Jakarta, 4 Agustus 2021. Kebijakan PPKM level 1-4 resmi diperpanjang Pemerintah hingga 9 Agustus 2021. Namun, kondisi pandemi COVID-19 seperti belum menemukan titik terang kapan dapat benar-benar terkendali. Kebijakan PPKM nyatanya belum ampuh untuk mengusir wabah untuk pergi dari Indonesia. Sebab, mau berapa kali pun Pemerintah menggonta-ganti istilah pembatasan kegiatan masyarakat tanpa bersungguh-sungguh melakukan 3T (testing, tracing, treatment), hanya akan membawa kita terus menerus kembali ke jalan buntu.

Lokataru Foundation menilai, untuk kesekian kalinya, cara Pemerintah mengatasi pandemi harus segera dirombak.

Pasalnya, pertama,  selama PPKM level 1-4 berjalan dari 26 Juli hingga 2 Agustus kemarin, angka kematian pasien COVID-19 sudah menyentuh angka 13.724 orang, bahkan dalam satu harinya pernah menyentuh angka 2.069 orang meninggal dunia. Presiden Joko Widodo pada hari pengumuman perpanjangan PPKM seperti sengaja tak  menyinggung angka kematian yang terus melonjak ini. Per 3 Agustus kemarin saja terdapat 1.589 total kematian.

 Kedua, komitmen Pemerintah masih lemah untuk mengejar angka testing sesuai target. Meski digadang-gadang telah melewati standar WHO, namun kenyataannya masih terjadi ketimpangan di daerah lain. Angka testing yang ditargetkan sebanyak 400.000 ribu spesimen per hari nyatanya hanya menyentuh pada angka 294.470 spesimen.

Kita makin miris saat mengetahui bahwa penurunan jumlah testing salah satunya memiliki motivasi politik, yakni agar sebuah daerah bisa memasuki zona hijau. Pandemi tidak akan pernah pergi apabila terus ditangani dengan pengelabuan publik seperti ini.

 Ketiga, tingginya angka kematian pada pasien isolasi mandiri (isoman) dan kolapsnya faskes menandakan Pemerintah juga gagal menjalankan salah satu komponen 3T lainnya yakni treatment. Menurut catatan LaporCovid-19, total kematian warga yang sedang menjalani isoman per 3 Agustus 2021 sebanyak 2.835 orang. Hal ini mengindikasikan dua hal: kondisi fasilitas kesehatan yang memprihatinkan, dan kelambanan pemerintah dalam memastikan keselamatan mereka yang tak bisa mengakses fasilitas kesehatan.

Semua dimulai dari buruknya pendataan Pemerintah terhadap warga yang sedang menjalani isoman. Tanpa pendataan, upaya perawatan jarak jauh melalui telemedicine sudah pasti tak efektif. Selain itu, banyak kematian akibat kelangkaan oksigen juga mestinya bisa dihindari apabila pemerintah sudah menyiapkan diri sejak jauh hari, terutama apabila belajar dari pengalaman pandemi India di awal tahun ini.

Naasnya, alih-alih menjalankan tugasnya mengawasi dan mengevaluasi kebijakan pemerintah, parlemen pun malah sibuk mengamankan privilesenya, antara lain dengan sibuk membooking hotel untuk keperluan isolasi anggotanya, dan dengan merengek meminta jalur spesial perawatan RS apabila ada anggotanya yang tertular. Warga wajib mengingat semua nama anggota dewan tersebut, agar di kemudian hari bisa memutuskan: benarkah mereka ini betul-betul wakil yang akan mengupayakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.

Keempat, sengkarut perbedaan data kematian antara Pusat dan Daerah yang ditemukan oleh LaporCovid-19 sebesar 19.838 atau 24,6 persen pun menambah catatan buruk transparansi informasi yang semestinya disediakan Pemerintah. Informasi total kematian menjadi penting bagi publik untuk menggambarkan kondisi sesungguhnya dan sebagai pijakan bagi Pemerintah untuk mengambil langkah penanganan pandemi berikutnya.

Warga pantas patah arang melihat cara kerja Pemerintah. Pemerintah seperti menutup telinga dari semua saran epidemiolog yang mengatakan bahwa kunci untuk bebas dari kondisi pandemi hanya dengan memaksimalkan 3T. Sebaliknya, yang dilakukan Pemerintah; PPKM yang sekedarnya, 3T yang tak pernah menyentuh target, bahkan kewajiban treatment bagi mereka yang membutuhkan pelayanan kesehatan terbengkalai hingga merenggut nyawa.

Inilah akibat kebijakan pembatasan kegiatan yang melulu ogah berpedoman pada UU Karantina Kesehatan. Warga dibatasi dalam berkegiatan namun minus insentif, distribusi bansos pun tidak maksimal akibat pendataan yang masih bermasalah. Pemerintah harusnya paham, kebijakan yang menempatkan warga dalam posisi dilematis harus memilih antara bisa makan sehari-hari atau terjangkit pandemi adalah resep terbaik untuk melestarikan pandemi sekaligus menyulut gesekan di tengah masyarakat. Pendekatan lepas tangan ini tidak bisa diklaim sebagai penanganan pandemi, lebih tepat disebut sebagai menumbalkan warga rentan untuk dihantam wabah. 

Belum lagi, ketika Pemerintah memfokuskan penanganan pandemi hanya di Provinsi Jawa-Bali, hal tersebut menyebabkan penanganan pandemi yang kedodoran di daerah lain. Terbukti angka kematian dan keterisian fasilitas kesehatan pada daerah Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Utara, hingga Papua mengalami tren yang memburuk.

Lagi-lagi, model mitigasi setengah-setengah seperti ini tak akan membawa Indonesia bebas dari ancaman virus. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, dibutuhkan penanganan pandemi secara menyeluruh dengan koordinasi penuh antara Pusat dan Daerah. Melihat kepemimpinan Satgas COVID-19 yang tidak ditempati dari kalangan ahli kesehatan masyarakat maupun epidemiolog saja sudah pertanda bahwa mitigasi bencana tidak berada di bawah kendali orang yang semestinya. Wajar, bila komitmen 3T tak pernah sesuai target. 

Rekomendasi kami:

  1. Kepemimpinan Satgas COVID-19 diserahkan kepada ahli kesehatan masyarakat atau epidemiolog.
  2. Komitmen kuat terhadap 3T, perbaiki pendataan kasus, dan tingkatkan terus laju vaksinasi, terutama di luar Pulau Jawa dan daerah pedesaan.
  3. Membuat RS darurat atau memperbanyak tempat isolasi mandiri bagi warga serta memperbaiki pendataan warga yang sedang isoman sebagai salah satu langka pengawasan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan kesehatan.