Rangkaian tahapan pemilihan presiden 2019 telah dimulai. Di tengah hiruk pikuk pendukung kedua calon, baik di kehidupan sehari-hari maupun di sosial media, terdapat kelompok lain yang cenderung tidak mendukung salah satu pasangan calon atau mitra koalisinya. Kelompok ini muncul karena berbagai alasan. Seperti tidak ada satupun dari capres-cawapres dan koalisinya yang bersih dari isu korupsi, perampas ruang hidup rakyat, tersangkut kasus hak asasi manusia, maupun aktor intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Namun belakangan, kemunculan kelompok yang tidak mendukung salah satu pasangan calon presiden itu, dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau tidak patut. Padahal dalam kehidupan demokrasi, tidak memilih adalah juga hak, seperti halnya memilih; dan setiap orang memiliki kebebasan dalam menjalankan hak pilihnya tersebut.
Kehadiran kelompok yang tak memihak kedua pasangan politisi itu seharusnya dibaca sebagai ekspresi protes atau penghukuman terhadap mekanisme penentuan capres-cawapres oleh partai politik yang masih didominasi pertimbangan politik praktis dan mengesampingkan nilai-nilai seperti integritas individu, ataupun rekam jejak yang bersih, anti-korupsi, dan berpihak pada hak asasi manusia.
Lagipula, terbatasnya pilihan calon-calon pemimpin bukanlah terjadi secara alamiah, melainkan didesain dan dibentuk sedemikian rupa. Hal ini dapat dilihat dari kondisi-kondisi dalam sistem politik kita sebagai berikut:
1. Syarat terbentuknya partai yang dipaksakan nasional, sehingga hanya partai-partai modal besar yang dapat ikut pemilu dan sistem politik kita menutup adanya partai lokal, kecuali di Aceh yang memiliki Otonomi Khusus.
2. Dalam sistem partai modal besar itu, masih ada sistem presidential threshold, di mana seseorang hanya bisa dicalonkan sebagai presiden jika didukung 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara nasional. Jadi meski sebuah partai politik telah lolos verifikasi nasional dengan syarat yang berat dan berbiaya mahal, telah punya kursi di DPR, tapi tidak dapat serta merta mencalonkan siapapun sebagai Presiden Republik Indonesia. Syarat yang berat untuk mengajukan calon presiden ini, memaksa sesama partai modal besar, bergabung menjadi kekuatan modal yang lebih besar agar dapat mencalonkan seseorang sebagai presiden. Padahal, pengalaman memiliki presiden secara langsung selama tiga kali sejak 2004, menunjukkan bahwa calon yang diinginkan masyarakat umum bisa berbeda dengan calon-calon yang dikehendaki para kumpulan partai modal besar ini.
3. Aroma oligarki para elit ini semakin dikunci dengan tidak ada peluang mengajukan calon presiden independen. Padahal, masih dalam sistem NKRI yang sama, gubernur, bupati, atau walikota dapat dicalonkan dari jalur independen.
4. Padahal sistem rekrutmen pejabat publik lewat mesin-mesin partai modal besar bersama para sponsornya ini (oligarki) tidak selalu menjamin hasil yang baik. Dalam 13 tahun terakhir, terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dan sebagian besar dari mereka dipastikan adalah pejabat yang disorongkan dan didukung lewat jalur partai-partai politik.
5. Dengan sistem politik yang oligarkis dan tertutup seperti ini pun, kedua capres dan cawapres saat ini sama-sama terjebak dalam politik identitas yang menggunakan simbol-simbol agama tertentu semata-mata untuk meraih dukungan.
Dalam situasi ketiadaan pilihan karena capres-cawapres hanya dapat diusulkan partai politik, dan partai politik hanya dapat dibentuk jika memiliki modal besar, lalu keduanya tak mewakili banyak aspirasi yang ingin melihat Indonesia bebas dari politisasi agama, maka tidak memilih salah satu pasangan calon adalah suatu pilihan dan keniscayaan dalam berdemokrasi.
Lalu apakah tidak memilih atau menjadi golput (golongan putih) itu melanggar hukum?
Posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih sama sekali bukan pelanggaran hukum dan tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar. Sebab, Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak melarang seseorang menjadi golput.
Pidana dalam pemilu pada dasarnya mengatur mengenai kemungkinan Golput, namun berdasarkan pasal 515 UU Pemilu, terdapat unsur-unsur pidana yang sudah diatur dengan jelas kepada siapa pidana itu dapat berlaku.
Pasal 515 UU pemilu berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Atas dasar rumusan pasal ini, maka terdapat catatan penting yang harus diperhatikan :
pertama, memperhatikan unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih,” dengan unsur ini maka yang dapat dipidana hanya orang yang mengegrakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Dengan demikian tanpa adanya janji atau memberikans ejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana.
Kedua, orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya Golput tidak dapat dipidana. Masih sejalan dengan unsur sebelumnya. Seorang yang memilih golput tidak dapat dipidana. Bahwa seseorang mendeklarasikan dirinya golput adalah hak yag dijamin oleh Undang-Undang dan Konstitusi selama tidak menggerakkan orang lain menggunakan janji dan pemberian uang atau materi lainnya untuk golput.
Dengan demikian, mengambil sikap golput di dalam pemilihan presiden 2019 adalah hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. Demikian juga dengan menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik ini. Apabila nantinya terjadi penyelidikan untuk kasus seperti ini, maka penting untuk memastikan unsur-unsur pidana dalam pasal 515 UU Pemilu harus diimplementasikan dengan ketat. Penggunaan pasal ini bagi mereka yang Golput atau melakukannya ekspresi politiknya dengan berkampanye Golput adalah pelanggarans serius bagi hak konstitusi negara.
Jakarta, 23 Januari2019
ICJR, Kontras, LBH Apik, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, PBHI YLBHI