Wajar saja kalau kemenangan Pakatan Harapan melahirkan perayaan besar-besaran. Bagaimanapun, menundukkan koalisi Barisan Nasional yang telah memimpin Malaysia lebih dari enam dekade jelas bukan perkara sederhana. Lebih dari itu, hasil Pilihan Raya ke–14 Malaysia (GE14) yang diumumkan pada hari Kamis (10/5) kemarin dinilai sebagai turning point bagi demokrasi di Malaysia yang selama ini dirundung persoalan plutokrasi politik, segregasi rasial yang menjangkiti tubuh birokrasi, serta pemasungan kebebasan sipil untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam ruang publik.

Usia renta tak menghalangi Dr. M – sapaan populer Mahathir Mohamad – untuk kembali menjadi Malaysian Official No. 1 (MO1) setelah koalisi yang dipimpinnya bersama Parti Pakatan Rakyat (PKR), Democratic Action Party (DAP), Parti Amanah Negara (AMANAH) dan Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) yang didirikan Mahathir mampu merebut 113 dari 222 kursi, sehingga menempatkannya sebagai penghuni mayoritas parlemen Malaysia untuk lima tahun ke depan.

Langkah cepat segera diambil koalisi untuk memenuhi janji kampanye: travel ban dikeluarkan bagi seluruh pejabat publik, termasuk untuk perdana menteri sebelumnya Najib Razak yang diduga keras mengatur skandal mega korupsi 1MDB (1 Malaysia Development Berhad). Padahal Najib beserta keluarga sudah dijadwalkan untuk bertolak ke Jakarta pada 12 Mei dengan menumpang pesawat jet Premiair – maskapai penerbangan milik salah satu taipan bisnis Indonesia, Peter Sondakh yang dikenal sebagai sahabat Najib Razak dan pernah dikaitkan namanya dalam pembangunan Tun Razak Exchange, sebuah kawasan bisnis terpadu di Sungai Besi, Kuala Lumpur.

Dr. M juga berjanji untuk menghapus peraturan terkait anti fake news atau hoaks yang dinilai lebih berpeluang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) ketimbang menegakkan hukum, dan mengkaji kembali penerapan pajak GST (goods/services tax) yang telah memberatkan hidup warga Malaysia. Inilah tiga agenda utama yang dapat kita saksikan perkembangannya dalam bulan–bulan pertama Pakatan Harapan memimpin parlemen.

Sekilas, masa depan demokrasi nampak cerah di Malaysia: setidaknya itu sinyalemen yang menghiasi hampir setiap analisis dan opini mengenai kemenangan para ‘barisan pembangkang’. Wawancara singkat BBC bertajuk ‘Why did young voters pick a 92-year-old?’ mengindikasikan hal serupa: ada hasrat dan harapan yang begitu besar bagi para pemilih muda akan perubahan – terlepas dari segala citra otoritarian yang pernah melekat pada Mahathir.

Sosok Mahathir diterima oleh 40% pemilih muda di Malaysia – inilah yang membedakan GE14 dengan kontestasi politik elektoral lain yang umumnya menghendaki naiknya pemimpin muda sebagai figur pembaharu. Tidak semudah itu menjadi representasi barisan pembangkang, mengingat sebelum bertransformasi menjadi penentang Najib, Pakatan Harapan sebelumnya bernama Pakatan Rakyat: sebuah aliansi politik yang didirikan untuk melawan Mahathir, sang diktator yang merencanakan Operasi Lalang (penculikan aktivis) dan kriminalisasi Anwar Ibrahim yang tak lain adalah pimpinan de facto Parti Keadilan Rakyat (PKR). Lantas bagaimana koalisi ganjil ini bisa memenangkan pemilu?

Menang dulu, Konsolidasi Kemudian

“Saya terpaksa minta maaf. Sekarang ini Kerajaan Malaysia dikepalai, diketuai oleh seorang yang dunia tahu telah mencuri duit. Tuan – tuan dan puan – puan, orang yang semacam ini tidak harus jadi Perdana Menteri Malaysia”

Mahathir Mohamad dalam orasinya pada Bersih 5.0 (19 November 2016)

Dari lorong–lorong sempit Chinatown Petaling Jaya, sekitar emperan kedai nasi lemak di Brickfields dan taman publik di Jalan Ampang, lautan manusia berbaju kuning menyemut sembari sesekali menyerukan tuntutan: “Tangkap MO1 (Malaysian Official Number 1)!” Inilah pesan utama aksi Bersih 5: Satukan Tenaga untuk Malaysia Baru! Yang turut melahirkan tuntutan reformasi sistem elektoral, penghormatan terhadap kebebasan berpendapat dan kesetaraan bagi warga di negara bagian Sabah dan Serawak.

Sekitar 15,000 warga Malaysia turun ke jalan: mulai dari aktivis LSM, gerakan mahasiswa, orang asli/masyarakat adat, petinggi koalisi Pakatan Harapan seperti Lim Guan Eng (Sekjen DAP), Wan Azizah Wan Ismail (Presiden PKR), hingga Mahathir Mohamad dan anaknya Mukhriz Mahathir, semua turut serta mengajak warga Malaysia ‘menangkap’ sang Perdana Menteri.

Setahun sebelumnya, Mahathir dan formasi lama Pakatan Rakyat mendirikan Pakatan Harapan. Membelot dari UMNO, Mahathir bersama Muhyiddin Yassin – sekutu Mahathir, pejabat teras UMNO serta Menteri Dalam Negeri Malaysia sebelum dipecat Najib pada 2016 – membentuk Parti Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM) untuk mengikuti GE14.

Lengkap sudah dua amunisi untuk menggoyang Najib dari pemerintahan: ketidakpercayaan masyarakat yang begitu besar, plus kendaraan politik untuk bertempur dalam kontestasi elektoral 2018. Sayang, krisis kepemimpinan dalam elite politik oposisi Malaysia berakhir dengan penunjukan kembali satu-satunya anggota yang tersisa dari ‘tiga serangkai’ diktator di Asia Tenggara (setelah Soeharto dan Lee Kwan Yew).

Bak negarawan sejati, Mahathir mengatakan dirinya hanya akan menjadi perdana menteri selama tak lebih dari 2 tahun. Ia pun menyatakan akan segera memberikan pengampunan kepada Anwar Ibrahim, seteru politik lamanya. Akan tetapi, belum jelas bagaimana nasib kepemimpinan Pakatan Harapan sepeninggal Mahathir, mengingat kroni Barisan Nasional masih bercokol kuat di kursi pemerintahan dan aktif sebagai pelaku bisnis di Malaysia. Satu hal yang pasti: dua tahun ini adalah litmus test bagi demokrasi Malaysia, khususnya bagi soliditas Pakatan Harapan untuk mereformasi birokrasi, membersihkan korupsi, serta menciptakan lapangan kerja dan jaminan sosial.

Semua ini tentu bukanlah tugas yang mudah bagi sebuah koalisi yang masih berusia seumur jagung. Terlebih karena sejak jauh hari sudah terendus bau perpecahan dalam koalisi ganjil ini. Rafizi Ramli, seorang petinggi PKR mengungkap bahwa keputusan Mahathir untuk menentukan pos menteri dilakukan tanpa kesepakatan dengan PKR, meskipun akhirnya dibantah oleh Anwar Ibrahim selaku pimpinan de facto dari PKR. Untuk sementara, Mahathir menempatkan Lim Guan Eng (DAP) sebagai Menteri Keuangan, Muhiddin Yassin sebagai Menteri Dalam Negeri, dan Mohamad Sabu, perwakilan dari Partai Amanah/PAS – representasi kelompok Islam – sebagai Menteri Pertahanan.

Apabila kita menelisik kembali riwayat koalisi ini, selain perkara jatah kursi di kabinet, ada kekhawatiran bahwa power sharing di antara anggota koalisi masih dirundung sejumlah perbedaan ideologi. Publik Malaysia masih mengingat perseteruan keras antara DAP dan PAS/AMANAH di tahun 2013 terkait proposal hukum syariah (hudud law) di negara bagian Kelantan. Inilah salah satu persoalan kunci yang menghancurkan koalisi Pakatan Rakyat; PAS dianggap melenceng dari bingkai kebijakan koalisi saat itu.

Belum lagi terkait komitmen koalisi untuk membebaskan Malaysia dari jerat korupsi. Lim Guan Eng, menteri keuangan baru Malaysia, tengah menunggu proses persidangan atas dugaan kasus korupsi pembelian bungalow dan perubahan zonasi wilayah pertanian menjadi pemukiman pada tahun 2015, saat ia masih menjabat sebagai Chief Minister negara bagian Penang.

Indikasi rapuhnya koalisi ini menyiratkan dua persoalan penting: Pertama, kemenangan Mahathir nampak sebagai kemenangan politik yang gemilang, namun sebenarnya didukung koalisi yang ringkih dan terancam gangguan politik kepentingan di tahun-tahun awal pemerintahan. Kedua, terpilihnya kembali Mahathir sebagai perdana menteri memberi sinyal krisis kepemimpinan yang pelik di tubuh oposisi. Bagaimana bisa seorang despot memimpin narasi pembaruan sebuah koalisi yang dulu merupakan seteru abadinya?

Kemenangan Populisme, Kekalahan Akal Sehat?

Tak biasanya populisme politik di era demokrasi modern memberikan panggung bagi sesepuh berusia hampir satu abad dan pernah menjadi representasi kekuatan politik lama. Namun Mahathir mendobrak norma politik itu dengan menunggangi gelombang besar kemarahan warga Malaysia terhadap otoritarianisme, serta rapuhnya kepemimpinan ‘barisan pembangkang’ yang sebelumnya merupakan penantang utama rezim yang pernah dipimpinnya. Seolah ia telah merumuskan teori politiknya sendiri. Kemenangan Mahathir adalah ironi yang menunjukkan rusaknya partai politik sebagai gatekeeper of democracy: ketika penjaga etika politik dan nilai – nilai demokrasi justru menggelar karpet merah bagi seorang despot untuk memimpin narasi pembaruan dalam politik.

Kita patut memelihara prasangka terhadap figur Mahathir, terutama di tengah situasi politik yang surplus energi namun minim konsep dan tujuan yang jelas untuk menumbuhkan demokrasi. Dalam Buku Harapan: Membina Negara, Memenuhi Harapan misalnya, tidak ditemukan tujuan, gagasan, dan cara untuk keluar dari persoalan privilese Bumiputera – segregasi rasial khas Malaysia. Malah yang kita temukan adalah daur ulang konsep pengutamaan bangsa Melayu dan Bumiputera dalam janji politik Pakatan Harapan: Janji 11, misalnya menyebutkan “Mengembalikan maruah orang Melayu dan institusi-institusinya”; dan Janji 30, “Memajukan ekonomi Bumiputera dan semua rakyat berbilang bangsa”

Ditambah lagi dengan munculnya figur semacam Daim Zainuddin dan Robert Kuok dalam Council of Elderly/Eminent Person, lembaga penasehat Mahathir khusus bidang finansial. Nama Robert Kuok tak asing bagi kita di Indonesia: taipan kelahiran Malaysia ini adalah pemilik Wilmar International Limited, perusahaan perkebunan sawit yang memiliki catatan pelanggaran HAM di Indonesia. Ia juga memiliki sejarah relasi yang kuat dengan banyak perdana menteri Malaysia.

Hampir identik dengan kemenangan para populis lain di Asia Tenggara seperti Jokowi, Rodrigo Duterte dan Aung San Suu Kyi, kemenangan Mahathir Mohamad juga berangkat dari besarnya semangat melawan sistem politik representatif yang dikuasai para plutokrat yang membawa malapetaka dalam demokrasi. Namun jika keretakan dalam koalisi akhirnya terjadi, maka harapan bagi keberlangsungan agenda perubahan tinggal bersandar di pundak gerakan masyarakat sipil.

Bertolak dari perspektif ini, gerakan Bersih 2.0 adalah pembangkang sesungguhnya; ia tak pernah meminta bagian dalam pembagian kekuasaan dan memiliki legitimasi politik untuk mencabut mandat Pakatan Harapan jika persoalan konsolidasi buntu atau melenceng dari tujuan utama pembaruan. Ini saatnya gerakan masyarakat sipil kembali mengambil langkah–langkah yang diperlukan untuk mengaktifkan akal sehat dan mengirimkan wacana–wacana kritis ke tengah publik Malaysia, ketimbang turut tenggelam dalam euforia politik yang berkalang persoalan ini.

Harapan lainnya hanyalah menunggu saat Mahathir menyerahkan tampuk kekuasaan pada pimpinan Pakatan Harapan dalam waktu 2 tahun ke depan. Itupun kalau betul sang doktor membuktikan dirinya sebagai seorang negarawan sejati. Nah, jangan sampai kalau ternyata dia malah merevitalisasi otoritarianisme lawasnya, lalu kita hanya mampu bilang: “Oh kantoi!”

Oleh: Daywin Prayogo
Penulis adalah editor Sorge Magazine yang sehari-hari bekerja sebagai peneliti magang di Lokataru.