Jakarta, 3 Februari 2021. Nasib tenaga kesehatan kian suram. Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor: S-65/MK.02/2021, pemerintah resmi memotong besaran insentif tenaga kesehatan, yang berlaku per Januari 2021 hingga Desember 2021. Kebijakan ini menegaskan kegagalan pemerintah dalam memastikan keselamatan dan hak-hak tenaga kesehatan. 

Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor: S-65/MK.02/2021 memangkas setengah besaran insentif tenaga kesehatan bagi dokter spesialis dari semula sebesar Rp 15.000.000  menjadi Rp 7.500.000, dokter umum dan dokter gigi dari Rp 10.000.000 menjadi Rp 5.000.000, bidan atau perawat dari Rp 7.500.000 menjadi Rp 3.750.000, serta bagi tenaga medis lainnya dari Rp 5.000.000 menjadi 2.500.000.

Kondisi fasilitas kesehatan kita babak belur, tenaga kesehatan berjatuhan karena kelelahan dan tertular COVID-19, kematian pejuang garis depan ini bahkan telah mencapai angka 688 orang. Deretan peristiwa ini nyatanya tak kunjung menyadarkan Pemerintah untuk serius dalam memberikan perlindungan bagi mereka yang berjuang di garis depan. Naasnya, insentif yang menjadi hak, ikut dipangkas.

Seperti yang kami catat dalam laporan “Pelanggaran Hak Tenaga Kesehatan di Tengah Pandemi COVID-19” (2020), sejak Maret tahun lalu, berbagai pelanggaran hak terhadap tenaga kesehatan telah mewarnai carut-marut mitigasi pandemi. Mulai dari keselamatan tenaga kesehatan yang terancam lantaran minimnya ketersediaan APD hingga menimbulkan klaster rumah sakit, pembungkaman hak berpendapat tenaga kesehatan korban PHK sepihak, sampai proses pencairan dana insentif yang macet. Desember lalu saja masih ditemukan beberapa rumah sakit yang kekurangan APD. Tambah lagi, santunan kepada tenaga kesehatan yang gugur realisasinya hanya sebesar 194 dari total 504 tenaga kesehatan. 

Ironis, di tengah angka positif COVID-19 yang telah tembus jutaan dan ratusan korban tenaga kesehatan, Pemerintah terus menganggap sebelah mata pemenuhan hak-hak tenaga kesehatan. Pemerintah mungkin merasa telah berhasil melindungi tenaga kesehatan dengan memprioritaskan mereka untuk vaksinasi sejak awal Januari 2021. Padahal, terlepas dari efikasi vaksin yang masih diragukan, Pemerintah gagal menginsyafi bahwa hal tersebut tak setimpal dengan kegagalannya untuk melindungi tenaga kesehatan dari ancaman kehilangan nyawa.

Tak ada lagi tawar menawar, pemotongan insentif mesti dibatalkan. Insentif untuk tenaga kesehatan adalah bukti paling minimum kepedulian negara terhadap keselamatan mereka yang 24 jam berjuang paling depan menghadang pandemi. Kalau itu saja dipotong, makin terang sudah kualitas komitmen pemerintah. 

Di lain pihak, jika pemerintah terus berkilah dan mempersoalkan keterbatasan anggaran – padahal tahun ini alokasi pembangunan infrastruktur justru meningkat – kita patut berburuk sangka: jangan-jangan bukan cuma fasilitas kesehatan yang kolaps, melainkan pemerintah sendiri sudah berada di tepi jurang. 

Kalau benar, sebaiknya Presiden Joko Widodo segera mengaku saja bahwa pemerintahannya sudah ambruk. Ini lebih baik ketimbang publik terus disuguhi guyonan pejabat publik yang gemar mengumbar slogan “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”, namun di lain waktu kebijakannya terus saja mencelakakan warga. 

Elfiansyah Alaydrus

Asisten Peneliti Lokataru Foundation