Sebagaimana diketahui bahwa Direktorat Jenderal Imigrasi baru saja mengumumkan terkait dengan polemik keberadaan Harun Masiku, tersangka kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR RI. Benar saja, yang bersangkutan ada di Indonesia, dan telah kembali dari Singapura pada tanggal 7 Januari 2020 atau satu hari sebelum tangkap tangan KPK. Fakta ini bertolak belakang dengan pernyataan Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM, sebab sebelumnya ia berkali-kali menyebutkan bahwa Harun tidak sedang di Indonesia.
Kasus yang sedang ditangani oleh KPK ini sebenarnya sederhana saja, atau bukan kali pertama ditangani lembaga anti rasuah ini. Hanya saja ada pihak-pihak tertentu yang ingin menggeser isu hukum ke wilayah politis. Tak hanya itu, KPK pun mengalami resistensi yang cukup tinggi pula. Pertama, KPK gagal menyegel kantor PDIP. Saat itu tim KPK dituding tidak membawa surat lengkap. Padahal Lili Pintauli Siregar sudah menegaskan bahwa tim telah dilengkapi dengan berkas administrasi yang cukup.
Menjadi pertanyaan, mengapa untuk melakukan penyegelan di kantor DPP PDIP begitu sulit? Padahal berkaca di masa lalu KPK sudah banyak melakukan penyegelan yang berjalan lancar. Mulai dari ruang kerja Komisioner KPU (Wahyu Setiawan), ruang kerja Menteri Agama (Lukman Hakim), sampai pada ruang kerja Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar).
Kedua, tim KPK yang sedang bekerja di PTIK diduga dihalang-halangi dengan meminta pegawai lembaga anti rasuah ini untuk tes urine. Padahal diduga kuat di sana ada pihak-pihak yang punya keterlibatan dalam perkara suap tersebut. Pada bagian ini tidak terlihat sama sekali adanya proteksi dari Pimpinan KPK. Semestinya jika ada kejadian seperti ini Firli bersama empat komisioner lainnya bisa hadir untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Ketiga, DPP PDIP membentuk Tim Advokasi Hukum. Pertanyannya sederhana, Tim Advokasi Hukum ini bergerak untuk kepentingan siapa? Pengacara Harun Masiku? Atau Pengacara Hasto?. Pertanyaan ini penting untuk dijawab, karena kesimpulan yang dibacakan pada konferensi pers cenderung tendensius kepada KPK dan mengaburkan substansi. Mulai dari mempersoalkan keabsahan OTT KPK, tudingan mencoreng citra PDIP, hingga mempertanyakan pemberitaan yang sedang berkembang saat ini.
Keberadaan Yasonna dalam pusaran kasus korupsi ini pun menarik untuk dianalisis. Selain menebar hoax tentang keberadaan Harun, ia juga sempat mendatangi peresmian tim advokasi hukum di DPP PDIP. Kedatangan Yasonna tersebut dibanjiri dengan kritik tajam. Misalnya saja, apa kepentingannya Yasonna hadir dalam peresmian tim tersebut? Bagaimana memisahkan Yasonna sebagai Menteri Hukum dan HAM dan sebagai Ketua DPP Bidang Hukum dan HAM? Atas dasar itu pubklik menduga keras ada konflik kepentingan antara Yasonna dan kasus yang sedang ditangani oleh KPK ini.
Dengan adanya sejumlah peristiwa tersebut, maka kami Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak agar:
- Presiden harus memecat Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM,
- KPK harus mengusut dugaan tindakan obstruction of justice yang dilakukan oleh Yasonna Laoly ketika memberikan informasi yang menyesatkan.
Jakarta, 23 Januari 2020
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi
ICW, YLBHI, PUSaKO, PSHK, LBH Jakarta, Komunitas Sekolah Anti Korupsi Bali, LBH Pers, KontraS, MaTA, SAHdar Medan, SEKNAS FITRA, Perludem, Imparsial, JATAM, SAFEnet, BEM UI, Lokataru, PBHI, TII