Dengan berdemokrasi kita meniatkan diri untuk membangun peradaban politik melalui  pikiran. Demokrasi menunda kekuasaan untuk memberi jalan bagi argumen. Itulah sebabnya, demokrasi  hanya bisa tumbuh dengan mensyaratkan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan menyatakan pikiran di muka umum. Ini pula kiranya yang mendorong para pendiri bangsa merumuskan tujuan-tujuan nasional negara Indonesia merdeka dalam kalimat gemilang :….untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….

Dengan itu, sudah merupakan keharusan bahwa demokrasi dan kehidupan politik, mesti dibangun berdasarkan konsep, kritik dan argumen. Bahwa kehidupan publik kita mesti dibasiskan pada prinsip kemerdekaan, bukan doktrin dan bukan klaim-klaim kebenaran final.

Oleh karena itu, sungguh merupakan keganjilan, apabila di dalam suatu negara demokratis yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa; pikiran, argumen dan kritik justru  dipatahkan oleh  klaim-klaim komunalitas dan tangan aparat negara. Sungguh merupakan keganjilan bila pikiran publik justru dikriminalisasi dan diadili bukan di muka perdebatan publik dan dunia keilmuan, melainkan di muka hukum atas tuduhan penyebaran kebencian dan penghinaan terhadap penguasa dan penodaan agama.

Kita mengeluh mengenai betapa buruknya kondisi pendidikan, betapa rendahnya  tingkat kecerdasan rata-rata kita di banding dengan bangsa-bangsa lain, ironisnya, keterbelakangan ini kita teruskan secara sengaja, melalui pelbagai kriminalisasi dan persekusi.  Kecendrungan ini yang menyebabkan rasionalitas publik kita terjerambab, ini pula yang menyebabkan gejala anti-intelektualisme meluas di masyarakat kita.

Anti-intelektualisme  pada dasarnya adalah pangkal dari intoleransi dan lawan dari pluralisme. Pluralisme dimulai dari penerimaan akan nilai dan pikiran yang berbeda, toleransi dimulai dengan kesanggupan menerima bahwa mereka yang berbeda memiliki nilai kebenarannya sendiri yang patut dihargai. Penerimaan akan perbedaan hanya bisa dimulai dalam kecerdasan dan keterbukaan pikiran. Di dalam pikiran yang cerdas, terdapat toleransi dan pluralisme sejati.

Di titik inilah kebhinnekaan yang hendak kita bangun sesungguhnya adalah kebhinekaan multi-matra. Kebhinekaan yang memungkinkan kebenaran dicapai dari sudut pandang keragaman perspektif hingga benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kriminalisasi dan persekusi atas nama tuntutan penodaan agama adalah salah satu praktik politik hukum yang absurd. Karena pertama,  ukuran penodaan itu melayang-layang bebas bergantung pada mereka yang merasa memiliki monopoli atas tafsir agama. Kedua,  pasal-pasal mengenai  penodaan itu lebih banyak dipakai untuk mengadili keragaman rasionalitas publik sehingga menghambat kemajuan dan peradaban.

Mencerdaskan kehidupan bangsa hanya bisa dimulai dengan penghargaan atas pikiran, kritik dan gagasan. Masyarakat yang cerdas memungkinan daya cerna akan perbedaan menjadi lebih mudah dan berlangsung secara damai. Dengan itu, kecerdasan adalah habitat terbaik bagi demokrasi. Hanya melalui kecerdasan, demokrasi akan bertahan panjang dan lestari. Sayangnya, kecerdasan publik ini  yang belakangan sulit ditemukan dalam hampir seluruh lapisan kehidupan sosial kita. Ini pula yang membuat demokrasi kita riuh tapi tuna -ide dan tuna-kualitas.

Indonesia harus melepaskan diri dari kedunguan kolektif dengan menjauhkan diri dari politik primordial dan mengukuhkan prinsip-prinsip kebersamaan yang berlandaskan pada rasionalitas. Bersamaan dengan itu, demokrasi Indonesia juga harus dibebaskan dari warisan feodalnya dengan memperluas hak dan peluang bagi  kritik dan suara oposisi yang rasional. Toleransi dan pluralisme hanya bisa dijamin dalam dialog dan keterbukaan.

Jakarta, 25 April 2018

Robertus Robet, Rocky Gerung, Bagus Taqwin, Sandyawan Sumardi, Herlambang P Wiratman,  Wishnu Wardhana, Gadis Arivia, JJ. Rizal, HS. Dillon, Jaya Suprana, Hendardi, Haris Azhar, Abdul Qodir, Bivitri Susanti, Atnike Sigiro, Fika Rosemary, Daniel Hutagalung, Daddi H Gunawan, Bramantya Basuki, Ubaidillah Badrun, Agus Mediarta, Henrik Boli Tobi, Sahat K Panggabean, Pananta Harianja, Ahmad Deny Salman, Reza Muharam, Sri Lestari Wahyuningroem, Alghiffari Aqsa, Andi Setiadi.