Pada 2018, jadi tahun terakhir bagi Maria menjadi Hakim MK. Lalu pelajaran apa yang bisa dipetik dari keberadaan perempuan yang jumlahnya amat jarang di MK ini? Berikut opini Haris Azhar.

Nunuk adalah panggilan kecil Maria Farida Indrati, seorang profesor hukum di bidang peraturan perundang-undangan, sekaligus hakim, bahkan hakim perempuan pertama dan satu-satunya—sejauh ini—di Mahkamah Konstitusi. Karir dan dedikasi keilmuannya dalam bidang Hukum sudah melayani negeri Indonesia sejak 1975, meninggalkan hobi dan cita-citanya sejak kecil menjadi guru piano.

Pada 2018, akan menjadi tahun terakhir bagi Nunuk menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi. Lalu apa yang bisa diambil pelajaran dari keberadaan Nunuk di MK? Dan bagaimana MK ke depan tanpa Nunuk?

Perspektif perempuan adalah sesuatu yang krusial dalam hukum di Indonesia. Perspektif perempuan bukan menitikberatkan hanya pada ‘perspektif’, yang artinya hal tersebut bisa dipelajari atau sekedar dirujuk pada teks atau norma tertentu, dan secara sadar bersama-sama menggunakannya.

Jika sekedar teks, hal ini sudah menjadi tren, bisa dilihat di berbagai ruang, seperti mall atau pusat belanja yang memiliki parkir khusus untuk Perempuan. Bisa jadi kebijakan tersebut dibuat oleh seorang Manager pengelola Mall yang lelaki. Bisa juga dilihat pada kebijakan memberikan ruang kerja bagi perempuan sebagai pelayan jasa pengisian bahan bakar di berbagai SPBU kota besar, seperti Jakarta. Bisa jadi Bos SPBU tersebut adalah lelaki.

Perspektif Perempuan, menuntut lebih dari sekedar penerimaan manfaat bagi si Perempuan. Perspektif ini menuntut adanya partisipasi secara substansial bagi si perempuan dalam mengekspresikan (bukan sekedar menyuarakan), mendiskusikan, menyusun pilihan-pilihan, mendengarkan pilihan-pilihan yang tersedia hingga membuat keputusan akan suatu hal. Dalam hukum ruang partisipasi dijamin, bahkan merupakan jaminan hak asasi bagi perempuan. Dengan demikian partisipasi tersebut sah dan menjadi tuntutan.

 

Perempuan tak boleh dikecualikan
Pada satu sisi, perempuan, adalah bagian dari manusia dan warga negara yang menjadi obyek pengaturan dan pemenuhan hak. Oleh karena dengan perspektif non diskriminasi, perempuan tidak boleh dikecualikan dalam proses dan penikmatan semua hak konstitusional dan segala turunannya dalam bentuk peraturan perundangan di Republik ini.

Di sisi lainnya, terutama dalam ranah tiga dimensi, perempuan adalah tumpuan tanpa pengakuan sebagaimana konsep kehidupan keluarga di Indonesia; menjadi obyek stigma dari lelaki baik dari pikiran, ucapan hingga tindakan; dibatasi gerak kehadirannya pada sejumlah profesi atau wilayah atau waktu tertentu bahkan dilegitimasi lewat peraturan-peraturan (daerah) dan menjadi korban kekerasan atau pelecehan.

Dari gambaran di atas bahwa ada irisan antara hukum dan budaya dalam melihat perempuan di Indonesia. Akan tetapi irisan tersebut sering anomali artinya pengakuan konstitusi dan hukum tidak serta merta merefleksikan penghormatan pada perempuan. Penghormatan pada perempuan lebih banyak didasari pada status sosial dan kekayaan, bukan karena kesadaran hukum dan perspektif kesetaraan dari masyarakat.

Teruji dalam keilmuan
Untuk itu teks-teks yang tumbuh dan makin menjamin hak perempuan membutuhkan penanda dan agen dalam praktik harian. Sampai di sini, Prof. Maria Farida Indrati menjadi figur yang menarik untuk dilihat. Rentan waktu yang panjang dalam karier hukum, menunjukkan betapa ia sangat teruji dalam keilmuannya. Menjadi bukti bahwa perempuan mampu bertahan bukan sekedar diruang privat namun juga berkibar di ruang publik. Berbagai tulisan dan pikirannya tertoreh di berbagai karya bahkan pada sejumlah perundang-perundangan, mengingat perannya yang kerap turut serta sebagai pakar pada tim penyusunan peraturan perundang-undangan. Entah berapa banyak mahasiswa yang telah belajar dan membaca bukunya yang masih sangat digunakan dikelas-kelas “Teknik Penyusunan Perundang-undangan”.

Maria memulai karier dari situasi Orde Baru tatkala sentralisme kekuasaan sangat pamungkas. Perempuan, keilmuan (hukum) dan hukum itu sendiri, bahkan mungkin Piano, sangat ditentukan oleh kehendak Orde baru. Dalam berbagai kasus bahkan bisa dilihat bahwa perempuan menjadi korban. Sementara bisa dipastikan, bahwa perspektif perempuan pun tidak ada tempatnya. Sekali lagi, dimasa orde baru, perspektif perempuan hanya terwakili oleh Ibu Negara, Tien Soeharto dan Dharma Wanita.

Ketika Orde Baru selesai, keahlian penyusunan aturan perundangan menjadi kebutuhan masa transisi perubahan sosial politik di Indonesia. Penataan hukum sebagai syarat penataan berbagai sektor semacam tren. Maria hangat dan hadir di berbagai ruang diskusi hukum ‘baru’, dan juga melahirkan berbagai institusi demokratik baru. Namun harus diingat bahwa diskusi dan situasi baru tersebut tetap secara diam-diam merupakan dominasi lelaki.

 

Lalu apa yang terjadi dan bisa kita ‘lihat’ kemudian?
Maria tetap aktif dan bertanggung jawab dengan keahliannya hingga mengantarkannya menjadi salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Di Mahkamah Konstitusi tidak ada agenda khusus soal (perspektif) perempuan. Agenda Reformasi Birokrasi Peradilan (MK) sangat umum sekali dengan tujuh kerangka yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dari lembaga peradilan dengan memegang nilai persamaan di mata hukum, keadilan, ketidakberpihakan, kejujuran, independensi, integritas, transparansi, mudah diakses, dan kepastian. Hal ini dikenal dalam The Seven Framework for Court Excellence (diambil dari 4 Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Konstitusi 2015-2019). Tidak ada yang spesifik soal perempuan.

Untuk itu patut diduga bahwa peran Maria adalah hadir dan mengisi dengan perspektif perempuan dari pengalaman dan identitasnya sebagai perempuan. Hal ini bisa dilihat dari perdebatan yang khas terkait dengan masa depan perempuan dalam teks hukum di Indonesia, misalnya soal boleh atau tidaknya perempuan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaliknya, sampai di sini patut diakui bahwa perspektif perempuan hingga saat ini masih memerlukan ke-agen-an, sosok konkret dari si perempuan sendiri untuk hadir dalam ruang-ruang penting.

Untuk itu, ketika kita masih dihadapkan pada ketidakpastian pengganti Maria di MK, Presiden—yang akan menentukan pengganti Maria, penting memerhatikan sejumlah rumusan agenda kebijakan gender dalam reformasi peradilan dengan memerhatikan sejumlah unsur, di antaranya, bahwa dalam standar internasional semakin jelas bahwa perempuan adalah kelompok rentan yang harus dilindungi, bahkan sudah menjadi standar internasional untuk melindunginya.

Untuk itu perempuan bukan sekedar dibela, jika mereka menjadi korban akan tetapi harus menjadi bagian dari upaya penyelesaian masalah yang lebih luas, bukan sekedar masalah perempuan saja.

Artinya logika berpikir menyusun kebijakannya dibalik, bahwa perempuan dan perspektifnya harus turut serta menyelesaikan atau membuat kebijakan yang holistik di mana perempuan sering menjadi korbannya. Cara pandang seperti ini harus dilihat sebagai kebutuhan dalam reformasi peradilan. Cara pandang demikian juga bisa menanggulangi masalah seperti menjawab keterwakilan perempuan dalam sektor peradilan bukan sekedar dalam sektor partai politik, akan lebih memiliki komitmen dalam memerangi diskriminasi dan melawan ketiadaan penegakan hukum ketika perempuan menjadi korban.