Pemerintah berencana mendorong revisi UU IKN utamanya terkait pengaturan jaminan hak atas tanah selama 180 tahun kepada investor. Alasannya, sebagaimana dilansir oleh Menteri/ Kepala Bappenas dan juga Menteri BKPM, UU IKN kurang atraktif dalam menggaet investor yang ingin menanamkan modal di Nusantara.

Padahal dalam kajian awalnya, gagasan pemerintah memindahkan IKN ke Kalimantan Timur bercermin dari kegagalan Jakarta selama ini sebagai ibu kota negara tumbuh disetir pemodal, timpang, dan jauh dari nilai-nilai kota yang sejahtera, berkelanjutan serta ramah lingkungan.

Namun, revisi IKN yang diusulkan pemerintah memberi pesan bahwa sejak awal proyek pemindahan ibukota begitu mudah disetir oleh keinginan investor.

Bukankah IKN kelak tumbuh sebagai kota yang sama saja dengan gaya pembangunan Jakarta?

Bahkan jauh lebih buruk dari sisi pertanahan sehingga regulasinya dimiliki dan dikendalikan oleh pemodal internasional ketimbang kedaulatan sebuah ibu kota negara.

Memberikan hak atas tanah selama 180 tahun dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB) sesungguhnya telah melanggar konstitusi sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi No.21-22/PUU/2007 yang membatalkan HGB 80 tahun sekaligus dimuka. Jika 80 tahun saja melanggar konstitusi apalah lagi 160 tahun.

Nampaknya pemerintah akan mengakali hambatan aturan semacam ini dengan cara memberikan HGB di atas Hak Pengelolaan (HPL) dengan perikatan dengan menjanjikan perpanjangan dan pembaruan sekaligus sebanyak dua kali sehingga berjumlah 180 tahun. Akal-akalan semacam ini mereflisikan bahwa pemegang HPL telah bertindak sebagai pemegang hak atas tanah secara perdata biasa bukan turunan hak publik negara.

Jika dilanjutkan, praktik ini mirip dengan menghidupkan Kontrak Karya dimana negara/pemerintah menjanjikan perjanjian perdata yang mensejajarkan dirinya dengan investor. Kebijakan semacam ini justru menghasilkan situasi dimana IKN kelak menjadi kapling-kapling dari investor semata.

Jika negara saat ini belum sanggup membangun IKN dengan cara menghormati konstitusi dan hak asasi manusia tidak ada urgensi untuk mempercepat pembangunan tersebut dengan mercusuar politik rejim.

Iwan Nurdin
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation