Rilis Bersama KPA Sumsel, LBH Sulawesi Tengah, Lokataru Foundation, Sunspirit for Justice & Peace dan WALHI NTB

KEK Golo Mori dan Mandalika:  ITDC Merampas Hak Warga atas Perumahan yang Layak

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) terus dikebut jelang masa akhir pemerintahan Joko Widodo yang kurang dari 2 tahun lagi. Di tengah bayang – bayang resesi ekonomi global yang semakin mendekat, ada banyak pertanyaan muncul; apakah proyek infrastruktur berskala besar ini masih sejalan pada tujuannya – tidak hanya sekedar membangun daya tahan – tetapi juga meningkatkan taraf ekonomi masyarakat?

Pasalnya, warga yang tinggal di sekitaran sirkuit Mandalika (Nusa Tenggara Barat/NTB) dan masyarakat adat di sekitar proyek KEK Golo Mori (Labuan Bajo-Flores – NTT) tidak bisa bersepakat dengan klaim pemerintah tersebut. Masih berusaha bertahan dari dampak pandemi yang begitu besar bagi perekonomian rumah tangga; kini sebagian besar dari mereka harus ‘terusir’ demi pembangunan kawasan ekonomi khusus tanpa mendapatkan ganti rugi yang memadai. 

Rilis ini adalah bagian dari inisiatif bersama KPA Sumsel, LBH Sulawesi Tengah, Lokataru Foundation, Sunspirit for Justice & Peace dan WALHI NTB untuk menyusun Indeks Kebebasan Sipil di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dengan tujuan untuk melihat sejauh mana model pembangunan berskala besar di era pemerintahan Joko Widodo ini benar – benar melibatkan partisipasi publik dan meningkatkan taraf ekonomi warga.

KEK Tanah Mori dan Mandalika; dua KEK yang digadang – gadang menjadi daya tarik masyarakat global terhadap pariwisata Indonesia tersebut, masih dibebani oleh sejumlah protes dari warga yang tergusur akibat dari proyek pembangunan infrastruktur pendukung maupun titik keramaian (attraction). 

KEK Tanah Mori misalnya, yang berbatasan langsung dengan area Taman Nasional Komodo telah menggusur paksa Victor Frumentius, bersama dengan 40 Kepala Keluarga lainnya di  Kampung Cumbi, desa Warloka untuk kebutuhan pembangunan akses jalan Jalan Warloka – Simpang Tana Mori sepanjang 4.25 km; dari total 22 km yang akan menghubungkan kota Labuan Bajo menuju fasilitas MICE, dan Wellness Center di atas lahan seluas 20 Hektar di tanah Mori.

Kredit Foto : Sunspirit for Justice and Peace

Victor Frumentius,selain membongkar rumah sendiri, ia juga harus mendirikan tenda darurat untuk menetap sementara. Terhitung sejak Februari 2022 – hingga Agustus 2022 ia tinggal di sana. Karena merasa tidak lagi nyaman tinggal di tenda darurat tersebut, Victor akhirnya mendirikan rumah baru, tak jauh dari lokasi rumah yang sudah dibongkar tersebut dengan biaya sendiri sekitar 30 juta rupiah. (Sunspirit for Justice & Peace)

Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), yang menjadi pengelola sekaligus mewakili pemerintah dalam mengelola KEK Tanah Mori sendiri belum memberikan pernyataan terkait penggusuran paksa Victor Frumentius dan warga Kampung Cumbi lainnya; tetapi riwayat buruk ITDC dalam mengelola dampak pembangunan sudah terlebih dahulu dirasakan oleh 36 Kepala Keluarga yang tinggal di Dusun Ebunut dan Ujung Lauk  – Desa Kuta, Mandalika sejak 2018.

Sekitar 100 warga masih berjuang untuk memperoleh ganti rugi yang layak atas lahan mereka yang berdampingan dengan sirkuit Mandalika – tempat gelaran balap motor bergengsi dunia sekelas MotoGP dan World Superbike, diselenggarakan. 

ITDC Merampas Hak Warga atas Perumahan yang Layak

Salah satu prinsip kunci dalam Indeks Kebebasan Sipil di KEK adalah mengenai hak atas perumahan yang layak (right to adequate housing). Prinsip ini kemudian direpresentasikan oleh 19 lebih indikator turunan, yang disadur dari sejumlah kovenan dan prinsip internasional yang mengukuhkan peran warga sebagai subjek yang berpikir aktif dan bebas, serta memiliki peran aktif di dalam segala rencana pembangunan yang diinisiasi pemerintah (Right to Development).

Hak atas perumahan yang layak, tidak secara harfiah memastikan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan papan bagi masyarakat; tetapi menciptakan standar serta menyusun regulasi yang melindungi seluruh masyarakat dari ancaman kehilangan hunian (security of tenure). 

19 (sembilan belas) indikator dalam hak atas perumahan yang layak tersebut mencakup tanggung jawab dari pemerintah maupun administrator KEK dalam mengkomunikasikan secara lengkap rencana pembangunan dan dampaknya, hingga standar – standar minimum penetapan ganti rugi dan jaminan bagi partisipasi publik dalam menerima maupun menolak segala bentuk rencana pembangunan usulan pemerintah. 

Sejauh ini Labuan Bajo dan Mandalika hanya mendapatkan skor 3 (dari 19); yang berarti ITDC selaku administratur KEK, sekaligus representasi negara dalam pembangunan KEK tidak benar – benar memperhatikan nasib warga yang terdampak dari pembangunan KEK, apalagi meningkatkan taraf ekonomi mereka.

Hasil pemantauan sejauh ini, menunjukkan bahwa upaya peningkatan nilai tambah kawasan dengan pembangunan sejumlah infrastruktur pendukung (jalan, bandara, sanitasi, titik – titik atraksi) lebih banyak mengorbankan kepentingan masyarakat; dengan menggusur secara paksa warga yang tinggal di lokasi KEK. 

Alih – alih memberikan nilai tambah bagi perekonomian warga; justru KEK menambah catatan panjang ‘korban – korban pembangunan’ yang dipaksa mengalah dengan ambisi besar membangun sebuah ‘etalase perekonomian Indonesia’ di mata dunia.

Tentunya penilaian ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah, administratur KEK maupun calon – calon investor yang hendak menanamkan modalnya; bahwa pembangunan yang justru menyingkirkan warga jelas tidak memiliki dampak positif apa – apa bagi rencana – rencana ekonomi yang hendak disusun; selain potensi masalah sosial yang semakin memburuk di kemudian hari.