Dalam sambutannya di acara peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI tahun 2020 kemarin, Presiden Joko Widodo menyempatkan diri untuk meminta masyarakat agar “lebih aktif menyampaikan kritik, masukan atau potensi maladministrasi” agar pelayanan publik dapat terus meningkat kualitasnya. 

Seharusnya tidak ada yang istimewa dari pernyataan ini. Tiap negara yang sehat demokrasinya mestilah mengharapkan partisipasi aktif warga dalam tiap aspek pelayanan publik. Persoalannya, Indonesia tidak lagi bisa dibilang demokratis, dan Presiden adalah salah satu pihak (jika bukan yang paling) bertanggung jawab atas anjloknya demokrasi selama beberapa tahun terakhir. 

Survei Indikator Politik September lalu bisa jadi gambaran umum. Hampir 70 persen responden survei menyatakan setuju dengan pernyataan “Warga makin takut menyatakan pendapat”. Pandemi COVID-19, selain menghantam sistem kesehatan kita yang centang perenang, turut jadi faktor yang memperkeruh kondisi kebebasan sipil. Laporan kami berjudul “Pengerdilan Kebebasan Sipil di Masa Pandemi” (April 2020) menyimpulkan, kalau pemerintah yang sedari awal tak punya komitmen kuat terhadap demokrasi, akan memanfaatkan kondisi darurat pandemi untuk menegakkan aturan-aturan yang mempersempit ruang ekspresi warga. 

Kini bukan cuma aduan pasal karet UU ITE yang bisa membuat seseorang tiba-tiba ‘dijemput’ karena menyatakan pendapat. Ada juga patroli siber yang digembar-gemborkan Menko Polhukam dapat meringkus orang dalam hitungan jam. Telegram Kapolri April lalu bahkan mengumumkan bahwa target patroli siber selain hoax terkait pandemi adalah penghinaan terhadap penguasa dan kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi. Selain itu, masih ada para serdadu media sosial yang siap mengepung netizen yang angkat suara mengenai pemerintah. Wajar kalau warga takut. 

Pemantauan Lokataru Foundation selama setahun terakhir turut menemukan perkembangan ‘kreativitas’ dalam laku kriminalisasi warga. Seperti dialami Ravio Patra, peneliti yang diretas akun Whatsappnya, kemudian ditangkap dan dituduh merencanakan kerusuhan. Manre, nelayan Kodingareng dipolisikan dengan tuduhan “merendahkan kehormatan Rupiah” karena merobek-robek uang sogokan. Beberapa staf Walhi Kaltim tiba-tiba dipaksa menjalani tes swab oleh petugas dan diwajibkan karantina tanpa bisa melihat hasil tes. Mahasiswa penggiat aksi kamisan Malang diciduk karena dituduh menghasut warga untuk “melawan kapitalisme”. 

Daftar kasus semacam ini ada banyak sekali. Jangan lupakan ribuan orang yang ditangkap di puluhan kota setelah serentetan aksi demonstrasi sejak September 2019: penolakan revisu UU KPK, KUHP, serta penolakan UU Cipta Kerja; yang ironisnya menunjukkan kontradiksi dari pernyataan beliau hari ini. Dan tak hanya pada aksi – aksi besar saja; protes – protes di berbagai kalangan dari mulai buruh, pelajar juga dihantui persoalan yang sama.

Kita patut bertanya: saat Presiden mengharapkan kritik masyarakat, siapa sesungguhnya masyarakat yang dimaksud? Sebab realita yang dirasakan banyak warga hari ini adalah frustrasi yang berlipat ganda, lantaran saluran kekecewaan yang tersedia sudah hampir habis diblokir penguasa. Pak Presiden, stop bersandiwara. 

Mirza Fahmi

Manajer Program Lokataru Foundation