Rilis Bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelindungan Civic Space

Meski sejumlah organisasi pemantau kebebasan sipil telah melaporkan penurunan kualitas demokrasi dalam skala global sejak beberapa tahun terakhir, ruang gerak masyarakat sipil tampaknya akan kian menyusut lebih parah lagi. Di Indonesia, indikasi nyatanya terlihat dengan disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mengandung sejumlah pasal anti-demokrasi. Penolakan publik terus diabaikan dan produk hukum yang berimplikasi pada kriminalisasi aktor masyarakat sipil diberlakukan tanpa melalui proses deliberasi bermakna.

Sudah sepatutnya publik menyayangkan situasi ini, apalagi dengan wacana pemerintah Indonesia selaku tuan rumah G20 2022 kemarin yang mengklaim komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan. Inkonsistensi antara wacana dengan kebijakan menunjukan wajah sebenarnya, bahwa tidak ada kesungguhan komitmen untuk benar-benar menjamin kebebasan sipil selain sebagai wacana-wacana formal. Pada sejumlah sektor, terdapat beberapa indikasi yang menguatkan bahwa penyempitan ruang sipil akan terus terjadi. Konsekuensinya muncul secara lintas sektoral sehingga penting bagi seluruh elemen masyarakat sipil untuk memperkuat solidaritas.

Pada sektor lingkungan, misalnya, bentuk represi dan kriminalisasi terus menunjukan tren yang signifikan. Misalnya saja sepanjang tahun 2019, data dari ELSAM menambahkan bahwa sebanyak 128 individu dan 50 kelompok pejuang HAM atas lingkungan menjadi korban kekerasan. Kemudian sepanjang Januari hingga April 2020, 69 individu dan 4 kelompok masyarakat adat menjadi korban kekerasan. Sepanjang 2021 lalu, Amnesty Indonesia mencatat terdapat 95 kasus serangan terhadap pembela HAM di Indonesia dengan total 297 korban. Lapisan kerentanan berlipat juga kerap dialami hak asasi perempuan. Komnas Perempuan mencatat kekerasan berbasis gender meningkat hingga 50% (lima puluh persen) selama kurun waktu 2020-2021, sehingga menjadi salah satu sorotan penting pada aspek kekerasan terhadap Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia.

Berangkat dari fakta tersebut, maka pengejawantahan komitmen perlindungan masyarakat sipil melalui pembentukan mekanisme SLAPP yang memadai melalui pembaruan hukum acara hingga penerapan peraturan internal APH untuk menangkal SLAPP menjadi penting dan signifikan untuk merespon fenomena tersebut.

Pada sektor hak asasi manusia, sejumlah pasal dalam KUHP baru membuka ruang pada negara untuk mencederai HAM dan mengekang kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat. Misalnya, Pasal 256 KUHP tentang larangan unjuk rasa tanpa pemberitahuan dengan ancaman hukuman penjara enam bulan dan denda Rp10 Juta. Keberadaan pasal ini melanggengkan praktik keliru sifat ‘pemberitahuan’, yang seharusnya tidak memiliki implikasi sanksi.
Lebih dari itu, penyelenggaraan kebebasan berkumpul secara damai harus diakomodasi dan dilindungi berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 25 UU HAM. Kemudian, Pasal 218 dan 240 KUHP baru tentang penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara, yang sangat potensial menjerat siapapun yang melakukan kritik terhadap pemerintah.

Lainnya adalah Pasal 188 KUHP mengenai penyebaran ajaran komunisme, Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Tidak ada penjelasan yang memadai untuk dapat menilai paham lain yang bertentangan dengan Pancasila, dan siapa yang berwenang menafsirkan suatu paham bertentangan dengan Pancasila. Pada gilirannya, hal ini berpotensi menghidupkan kembali konsep pidana subversif yang pernah ada pada era orde baru. Ada banyak daftar catatan yang telah dibuat oleh masyarakat sipil, yang menunjukan kemunduran terhadap kebebasan sipil di level nasional.

Pada isu digitalisasi, pemerintah dan sektor swasta seringkali menjadikan “pendigitalisasian” sebagai shortcut atas berbagai permasalahan, tanpa memperhatikan akar permasalahan yang ada. Akibatnya, digitalisasi yang terjadi saat ini masih belum berpusat pada manusia (human-centric), melainkan kepentingan-kepentingan negara dan perekonomian semata. Desain teknologi yang tidak human-centric, menjadikan banyak terjadi pelanggaran hak atas privasi, hak atas informasi, kebebasan berekspresi, dan hak atas rasa aman (SAFEnet, 2022). Situasi pelanggaran yang ada, kian diperparah dengan regulasi-regulasi yang minim keberpihakan pada hak asasi manusia, seperti halnya beberapa ketentuan dalam UU ITE dan Permenkominfo 5/2020.

Praktik nyata lainnya adalah digitalisasi kerap kali tidak inklusif, atau bahkan memperparah kesenjangan yang dialami oleh masyarakat rentan. Pengetahuan online gratis misalnya, secara historis dikendalikan oleh mereka yang berkuasa sehingga meninggalkan perspektif, budaya, dan pengalaman yang luas. Kesenjangan ini dapat dilihat dalam cakupan perempuan, komunitas LGBTQI+, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan orang kulit berwarna. Ekspresi-ekspresi kelompok rentan seringkali tidak dimunculkan atau bahkan cenderung ditinggalkan dalam pembangunan internet. Padahal, untuk menikmati pengetahuan yang terbuka dan bebas di internet, kebebasan berekspresi adalah kunci. Sehingga, semua pengguna dapat mengungkapkan pendapatnya tanpa takut akan pembalasan atau penyensoran.

Tidak cuma di Indonesia, kemerosotan juga terlihat dalam level regional bahkan global. Negara kerap menggunakan pendekatan hukuman untuk menggerus suara alternatif dan oposisi yang menyerukan nilai-nilai demokrasi. Junta Militer Myanmar, misalnya, pada 7 Desember 2022 lalu mengeksekusi mati tujuh mahasiswa Universitas Dagon yang terlibat protes anti-rezim militer di Myanmar (OHCHR, 2022). Sebelumnya otoritas Filipina sembilan aktivis HAM terbunuh karena tindakan aparat pada Maret 2021 karena terlibat dalam protes mengkritik pemerintah. Di Malaysia, situasi kebebasan berekspresi dan media semakin memburuk karena dinamika politik pemerintahan yang terjadi. (External Policies of the EU, 2021)

Dengan situasi yang kian terpuruk, masyarakat sipil global harus mulai mengencangkan sabuk pengaman ke depan. Inisiatif mempertahankan isu civic space di setiap forum internasional jadi keharusan untuk mengisi ruang-ruang yang semakin hilang akhir-akhir ini. Apa yang ditinggalkan oleh masyarakat sipil Indonesia pada gelaran C20 2022 perlu dilanjutkan oleh presidensi sebelumnya agar advokasi ini berjalan dengan berkelanjutan.

Belajar dari keberhasilan organisasi masyarakat sipil di negara-negara Global North yang menyepakati pembentukan Kelompok Kerja Civic Space di forum global mendatang, inisiatif serupa perlu didukung oleh publik luas agar setidaknya ruang-ruang yang hilang itu bisa direbut kembali. Tentu saja, itu bukan langkah satu-satunya, perlu konsolidasi lebih besar lagi ke depan antar elemen masyarakat sipil agar kebebasan sipil dapat diselamatkan. Terutama ketika otoritas tak lagi bisa diandalkan.

Jakarta, 22 Desember 2022

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelindungan Civic Space
(CIVICUS, ICEL, PSHK, Lokataru Foundation, Kontras, YLBHI, YAPPIKA-ActionAid)