Kredit foto : Jessica Washington – AJ English

Pernyataan Sikap Lokataru Foundation dan Blok Politik Pelajar (BPP):

oleh : Adityo Nugroho dan Delpedro Marhaen

Sudah 58 tahun lalu tragedi berdarah Estadio Nacional di Kota Lima – Peru berlalu, tetapi sejarah seperti kembali berulang di Malang, Jawa Timur. Dinas Kesehatan Kabupaten Malang mencatat ada 182 korban jiwa per tanggal 2 Oktober 2022 dan ratusan orang luka – luka setelah laga Arema vs Persebaya berakhir di Stadion Kanjuruhan akibat kekejaman aparat gabungan Polisi dan TNI yang hendak membubarkan kerumunan suporter yang masih berada di tribun dan sekitar lapangan.

Mungkin peristiwa Kanjuruhan bukan yang pertama, tetapi ia adalah peristiwa yang paling buruk sepanjang perjalanan sepak bola modern.

Rekaman video dan keterangan publik yang beredar luas di media massa lagi – lagi menambah catatan brutalitas Kepolisian Republik Indonesia; tidak hanya di momen – momen demonstrasi, juga pada hari libur di saat banyak keluarga dan rekan hendak menyaksikan tim kesayangannya berlaga di Liga Sepakbola Divisi I BRI 2022 – 2023 yang diselenggarakan oleh PT. Liga Indonesia Baru (PT. LIB).

Suporter yang hendak memberikan dukungan pada anggota tim kesayangannya yang menelan kekalahan, kemudian disambut dengan tembakan gas air mata ke beberapa penjuru stadion yang masih diisi oleh penonton beragam usia. Tidak hanya itu, sebagian suporter yang berada di lapangan sepakbola juga tak luput mendapat kekerasan fisik berupa pukulan dan tendangan dari aparat gabungan yang bertugas malam itu.

Berdasarkan keterangan Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta tindakan yang dilakukan personelnya semata – mata dilakukan untuk mencegah tindakan suporter yang masuk ke dalam lapangan untuk melampiaskan kekalahan. Senada dengan Kapolda, ketua umum PSSI juga turut menyayangkan tindakan suporter Aremania yang mencoba masuk ke lapangan. Namun pernyataan keduanya jelas tidak menjelaskan; mengapa upaya untuk mencegah tindakan suporter justru berakhir dengan hilangnya ratusan nyawa manusia?

Banyak yang janggal dalam keterangan Kapolda Jatim, jika kita merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian bahwa tahapan penggunaan gas air mata bisa diambil setelah tahap pengendalian situasi dan peringatan lisan tidak digubris oleh massa. Situasi yang tergambar justru penonton sulit keluar dari stadion karena banyak akses pintu keluar yang ditutup dan justru harus meregang nyawa akibat tindakan brutal kepolisian yang mengakibatkan mereka kehabisan napas karena berhadapan dengan serbuan gas air mata.

Kepolisian juga tidak bisa menggunakan dalih bahwa aturan resmi yang dirilis FIFA Pasal 19 b yang berbunyi: No Firearms or crowd control gas shall be carried or used.” (FIFA Stadium Safety and Security Regulations); mengingat keberadaan kepolisian selama ini di pertandingan sepak bola nasional secara reguler sebagai pasukan pengamanan.

Begitulah wajah negara ini melihat warganya, melihat kerumunan warga saat aksi massa, saat menonton hiburan, saat perayaan, semuanya dilihat dalam pendekatan keamanan. Pendekatan yang melihat nyawa warga negara yang hilang hanya sebagai konsekuensi karena tidak tertib, salah sendiri dan pembuat onar. Jika ada korban lain itu karena ekses semata.

Selain itu, penggunaan gas air mata sebagai pengendali kerumunan (crowd control) juga sudah dikritisi oleh Blok Politik Pelajar (BPP). Menurut Delpedro Marhaen dari BPP yang menggagas Petisi Kepolisian Harus Stop Penggunaan Gas Air Mata! mengungkap bahwa penggunaan gas air mata tidak tepat digunakan kepada masyarakat dalam situasi apapun. “Penggunaan gas air mata selain hendak membungkam kebebasan berekspresi warga, ia punya kandungan berbahaya yang punya dampak bagi fisik manusia.” kata Pedro.

Selanjutnya Iqbal Ramadan dari BPP juga turut menambahkan bahwa penggunaan gas air mata oleh kepolisian adalah metode yang serampangan dan tidak memperhatikan Prinsip – Prinsip dan Prosedur Tetap dalam Penanganan Huru – Hara yang seharusnya memperhatikan hak asasi manusia dan menjaga keselamatan publik. “Kejadian di Kanjuruhan membuktikan bahwa gas air mata bisa berakibat fatal seperti hilangnya nyawa manusia. Senjata yang berbahaya dan dimiliki dalam jumlah banyak oleh personil kepolisian yang tidak memiliki orientasi keselamatan publik tentu menjadi ancaman bagi setiap orang.” tegasnya.

Selain Kepolisian, pihak penyelenggara pertandingan PT. Liga Indonesia Baru juga patut diminta pertanggung jawabannya mengingat peringatan terkait laga- laga berisiko tinggi tentu harus digelar dengan persiapan yang matang demi keselamatan publik dan berlangsungnya sepak bola Indonesia. Mengabaikan batas penonton maksimum, menolak pergeseran jam tayang serta menyelenggarakan pertandingan tanpa mitigasi krisis yang memadai; seharusnya menjadi pertimbangan kepolisian untuk tidak memberikan izin.

Apa mau dikata, pertandingan itu tetap berjalan dan ‘Pembantaian di Kanjuruhan’ terjadi akibat pengelola kegiatan yang ceroboh dan brutalitas kepolisian dalam penanganan massa.

Dalam situasi ini, Kemenpora dan PSSI tidak lagi punya hak untuk berharap bahwa masalah ini akan segera selesai dan berharap sanksi dari FIFA tidak menghalangi penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Seluruh dunia bisa melihat bagaimana jadinya jika sepak bola modern dikelola dengan manajemen yang serampangan dan mengancam keselamatan publik.

Untuk itu, Lokataru Foundation dan Blok Politik Pelajar mengutuk brutalitas kepolisian yang masih menggunakan gas air mata serta manajemen penyelenggara oleh PT. LIB. Kami juga mengajak seluruh masyarakat untuk bersama – sama memastikan proses investigasi terhadap ‘pembantaian’ di Kanjuruhan ini berjalan secara terbuka dan terang benderang serta bebas dari segala bentuk intervensi; apalagi menghilangkan bukti – bukti yang menghambat proses keadilan bagi seluruh korban yang luka dan meregang nyawa di Kanjuruhan.