Pemerintah semakin nyata mengkhianati semangat Konstitusi yang mengamanatkan melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, melindungi setiap nyawa warga negara. Hal ini bisa kita lihat dari pernyataan demi pernyataan pejabat yang inkonsisten membingungkan publik, dari mulai soal pulang kampung vs mudik, PSBB yang baru diberlakukan di 16 daerah namun sudah mewacanakan untuk dilonggarkan tanpa landasan data yang kuat, data bantuan yang carut marut hingga birokratisasi prosedur penerapan PSBB. Saat ini, 354 Kabupaten/kota di semua provinsi memiliki kasus positif COVID-19. Sementara, jumlah laboratorium tes PCR hanya 51 untuk melayani seluruh wilayah Indonesia.
Kami mencatat setidaknya ada dua bentuk diskriminasi dan standar ganda Pemerintah; pertama, menyatakan Darurat bencana non alam namun tidak mau memberlakukan karantina wilayah. Pilihan menetapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) merupakan pilihan lepas dari tanggung jawab pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial. Melalui PSBB, kebutuhan pokok warga dibebankan kepada Pemerintah Daerah. Karantina wilayah tidak dipilih sebab mesti mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan yang mewajibkan pemerintah memberikan kebutuhan pokok warga.
Kedua, bukan hanya tidak mau memenuhi kebutuhan warga, Pemerintah justru memaksakan aktivitas ekonomi dijalankan di tengah wabah. Sementara protokol kesehatan di tempat kerja tidak pernah menjadi perhatian Pemerintah. Betul, bagaimana mungkin, karena Kementerian Tenaga Kerja menerapkan kerja dari rumah sehingga tidak bisa melakukan pengawasan. Alhasil, sebagai contoh, puluhan Karyawan PT Freeport Indonesia mengidap COVID-19, di Surabaya karyawan PT HM Sampoerna, juga mengalami hal yang sama. Artinya, kepentingan ekonomi dikedepankan ketimbang pemenuhan hak kesehatan publik.
Ketiga, penyelenggaraan dan akses terhadap tes PCR di tengah hasrat menghidupkan kembali aktivitas ekonomi justru sangat minim.
Dari catatan di atas bisa disimpulkan bahwa, Pemerintah menutupi kegagalannya menangani wabah ini (baik dalam soal kesehatan maupun soal ekonomi warga), dan lagi-lagi menganggap enteng situasi ini. Penekanan soal solidaritas namun tidak diimbangi dengan pengetesan akurat secara massal, tracing dan penerapan PSBB dengan disiplin merupakan model perilaku lari dari tanggung jawab.
Berdasarkan hal-hal di atas kami menyatakan:
1. Meminta tes massal akurat (PCR, TCM) segera disediakan, diperbanyak di 34 provinsi dan semua kabupaten/kota terdampak, untuk memastikan sebaran dan besaran angka Covid-19 yang terjadi di lapangan
2. Meminta pemerintah untuk berkolaborasi dengan para pakar kesehatan masyarakat, matematika, dan epidemiolog yang selama ini telah melakukan pemodelan matematika untuk menghitung penyebaran penyakit berbasis bukti
3. Kebijakan apapun terkait penanganan wabah Covid-19 termasuk PSBB dan pemulihan ekonomi harus didasarkan atas hasil data tes tersebut dan dengan mempertimbangkan hasil pemodelan distribusi COVID-19 di atas
4. Mendesak pemerintah memberikan jaminan perlindungan sosial bagi warga, khususnya kelompok rentan dan marjinal
Jakarta, 8 Mei 2020
Narahubung:
Irma Hidayana
Haris Azhar
Koalisi Masyarakat Sipil digerakkan oleh:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Asia Justice and Rights (AJAR)
AMAR
Amnesty International Indonesia
ICW
Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK)
Kios Ojo Keos
Koalisi Warga Lapor COVID-19
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat
Lokataru
Migrant Care
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Protection International
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Transparency International Indonesia (TII)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
WatchDoc
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Yayasan Perlindungan Insani