Pada awal berkuasa, pemerintahan Jokowi-JK memperlihatkan kepada publik bahwa pemerintahannya secara terbuka menolak praktik rangkap jabatan. Itulah sebabnya, kita melihat para menteri yang telah ditunjuk Jokowi diminta untuk segera melepaskan jabatan-jabatan lain dan mengundurkan diri dari partai politik. Permintaan ini dibarengi permintaan khusus dari Presiden agar para pejabat yang ditunjuk fokus mencapai target Presiden yang tertuang dalam Nawacita.

Namun, praktik tersebut nampaknya secara sengaja mulai dilupakan oleh pemerintah. Secara mengejutkan,  Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan bahwa pada 144 BUMN terdapat 514 Komisaris yang ditunjuk pemerintah. Ironisnya, 222 atau hampir setengahnya (41%) telah melakukan praktik rangkap jabatan. Selain rangkap jabatan, juga ditemukan bahwa para komisaris ini juga di isi oleh orang-orang dekat Istana sebagai bagian dari praktik balas jasa dan politik dagang sapi.

Praktik rangkap jabatan yang terjadi di lingkungan BUMN ini memperlihatkan tentang wajah pengelolaan BUMN. Pertama, semangat penunjukan pos-pos untuk mengisi jabatan publik tersebut tidak melalui fit and proper test yang benar. Mengingat latar belakang mereka yang ditunjuk sebagian besar adalah Tim Sukses pada saat pencalonan presiden. Kedua, hal ini memperlihatkan bahwa pengelolaan BUMN kita belum merujuk kapda standar good corporate governance.  Ketiga, bisa jadi pandangan elit kekuasaan terhadap BUMN belum berubah, pengelolaannya sarat dengan kepentingan politik dan bisa jadi tetap memposisikan BUMN sebagai entitas bancakan ekonomi alias sapi perah kekuasaan.
Rangkap jabatan, dan penunjukan pos Komisaris BUMN oleh kalangan Istana sesungguhnya dapat mengganggu tujuan strategis BUMN sebagai institusi pelayanan publik rakyat dan sekaligus mencapai profit yang dikembalikan kepada rakyat banyak dalam bentuk reinvestasi ekonomi.

Pengelolaan BUMN yang sarat kepentingan ekonomi dan politik penguasa terbukti telah membuat banyak BUMN stagnan atau bahkan gulung tikar meskipun kompetitor swasta justru mengalami pertumbuhan pesat. Pada sektor perkebunan sawit misalnya, dari 15,7 juta hektar perkebunan sawit, BUMN hanya mengelola 493 ribu hektar saja. Sementara, swasta mengelola 10,7 juta hektar dan terus berekspansi. Ini membuktikan bahwa di tengah gemerlap ekonomi sawit, BUMN perkebunan tidak mampu berbuat banyak. Pengelolaan yang buruk pada sektor perkebunan BUMN juga menyumbang banyak konflik agraria.

Rangkap Jabatan pada BUMN ini diisi dari unsur birokrasi KL, lembaga pendidikan,  penelitian serta pejabat aktif TNI/Polri. Sebagian besar adalah pejabat  Eselon 1, Perwira Tinggi TNI/Polri, dan juga pejabat Eselon 2. Jadi, pada posisi asal, para komisaris ini adalah pejabat yang mempunyai tanggung jawab besar dalam kerja-kerja kedinasan sehari-hari.
Karena itu, kami menilai bahwa Kementerian BUMN harus segera memberhentikan para komisaris yang telah ditunjuk dan terbukti melakukan rangkap jabatan. Kami meminta agar Kementerian BUMN menerapkan proses baik, fit and proper test yang terbuka pada rekruitmen posisi strategis di BUMN mengingat badan ini adalah milik publik.

Jakarta, 2 Juni, 2017
Atas Nama Lokataru
Iwan Nurdin, 0812 29111651