Indonesia Berhutang Penjelasan atas Represi Kebebasan Sipil selama G20
Refleksi bersama Lokataru Foundation yang menghadirkan Khalisah Khalid (Greenpeace), Meila Nurul Fajriah (YLBHI), Darryl Dwiputra (Ketua BEM Universitas Udayana, Bali), dan Rivanlee Anandar (KontraS), 22 November kemarin, mengisyaratkan satu hal; presidensi Indonesia di G20 tidak demokratis dan menekan partisipasi publik secara berlebih – lebihan.
Cerita yang dituturkan Darryl (Udayana), Khalisah Khalid (Greenpeace), dan Meila (YLBHI) saat menggelar diskusi publik dan kampanye mengenai pembangunan berkelanjutan dan krisis iklim di Bali selama gelaran G20 justru menjadi ajang pengekangan kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat oleh aparat penegak hukum tanpa alasan yang jelas.
Bahkan, upaya represi terhadap aspirasi publik juga merambah kampus seperti yang dialami mahasiswa Universitas Udayana Bali. Darryl bersama sekelompok mahasiswa lain dihalangi masuk ke dalam kampusnya sendiri dan mengalami doxxing di media sosial karena dianggap ingin mengganggu gelaran G20.
Kasus yang menimpa Darryl dan rekan – rekan dari BEM Udayana; senada dengan acara YLBHI dan Greenpeace yang juga mengalami tindakan intimidasi dan pembubaran paksa mengesankan bahwa demokrasi bisa ditunda sementara waktu untuk gelaran internasional.
Padahal, Khalisah Khalid (Greenpeace) menjelaskan bahwa masalah krisis iklim yang sedang dihadapi seluruh masyarakat di permukaan bumi ini bisa sama – sama dihadapi dengan syarat demokrasi yang berjalan secara penuh. Aksi – aksi penyadaran publik terkait dampak krisis iklim yang diemban tim Chasing the Shadow dari Greenpeace justru dihentikan ormas dengan tuduhan hendak mengganggu G20.
Penanggap diskusi Rivanlee (KontraS) dan Daywin (Lokataru Foundation) menegaskan hal yang serupa, bahwa pembatasan kebebasan sipil selama gelaran G20 tidak didasarkan pada alasan – alasan yang valid. Pemerintah dalam hal ini seharusnya memberikan justifikasi terhadap tindakan aparat penegak hukum yang bekerja sama dengan sejumlah elemen masyarakat untuk melakukan pembubaran terhadap aksi – aksi diskusi.
Bahkan aksi yang digelar oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) 16 November lalu juga dibubarkan dengan tindak kekerasan dan mengalami pengepungan di depan asrama mereka. Tapi hingga saat ini, pemerintah tidak pernah memberikan penjelasan terkait tindak pembubaran tersebut.
Rentetan peristiwa ini menginsinuasikan bahwa ada upaya pemerintah untuk membatasi partisipasi masyarakat sipil dengan berbagai cara dengan tujuan ‘mencuci’ citra pemerintah Indonesia di forum G20.
Nyatanya, G20 tidak dapat menjadi sabun pembersih muka wajah pemerintah Indonesia yang tidak demokratik; mengingat di Indonesia kini nampaknya hanya ruang kamar mandi pribadi kita saja yang bebas dari campur tangan pemerintah.