Lokataru Foundation meminta Pemerintah Indonesia melakukan audit terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini menjadi penting mengingat terus meningkatnya angka defisit kas BPJS. Bersamaan dengan hal ini pelayanan terhadap anggota BPJS Kesehatan juga menurun. Maka Audit terhadap BPJS adalah sebuah keniscayaan.

Dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), BPJS Kesehatan dinyatakan mengalami defisit kas sebesar Rp. 10, 98 Triliun – tertinggi sejak tahun 2014 – hal mana dinyatakan dalam rapat dengar pendapat Komisi IX Tenaga Kerja & Transmigrasi, Kependudukan, Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR – RI) bersama dengan Nila F. Moeloek (Menteri Kesehatan), Mardiasmo (Wakil Menteri Keuangan), Sigit Priohutomo (Ketua DJSN) dan Fahmi Idris (Direktur Utama BPJS Kesehatan, Senin (17/09/2018) lalu.

Fakta merugi, oleh Fahmi Idris, dikatakan akibat meningkatnya jumah pasien dengan penyakit tidak menular dan katastropik, iuran yang underpriced (terlalu rendah), serta tunggakan iuran peserta mandiri dan pemerintah daerah yang tidak seimbang dengan biaya layanan kesehatan yang dikeluarkan BPJS. Lanjutnya, persoalan defisit kas ini memang sudah direncanakan (terprediksi) dan diperkirakan belum mencapai angka puncaknya. Senada dengan Dirut BPJS, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menguatkan bahwa rendahnya tingkat kolektabilitas (pembayaran) peserta mandiri yang rendah – dalam besaran 54% – menjadi sebab dari tingginya defisit kas tersebut. Lanjutnya mayoritas peserta mandiri BPJS Kesehatan tersebut menderita penyakit katastropik atau penyakit berbiaya tinggi. Biasanya seusai memakai manfaat BPJS Kesehatan, peserta mandiri kemudian tak lagi membayar.

Sementara, pihak DPR RI hanya mem-beo atas keterangan Fahmi Idris. Hasil rapat diatas hanya menyepakati dua hal penting: pertama, menunjuk peserta mandiri sebagai penyebab bengkaknya defisit, dan kedua, mempersiapkan dana talangan sebesar hampir 5 triliun rupiah yang bersumber dari APBN (Dana Cadangan Jaminan Kesehatan Nasional).

Anehnya, pernyataan diatas, baik dari BPJS Kesehetan, Pemerintah maupun DPR, tidak ada yang merekomendasikan pemeriksaan (audit) atau membuka Neraca keuangan kepada publik sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas lembaga yang menjamin kesehatan jutaan warga negara Indonesia tersebut.

Bagi Lokataru Foundation, kondisi dan sikap diatas adalah prematur dan menyesatka jika bengkaknya defisit dituduhkan semata – mata pada peserta mandiri tanpa ada transparansi hasil audit keuangan BPJS Kesehatan. Sebagaimana hasil riset kami, [bertajuk Formulasi dan Pelaksanaan Kepesertaan BPJS Kesehatan dan Implikasinya terhadap Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia, 2018] menemukan setidaknya ada dua persoalan yang menghambat peserta mandiri untuk tertib mengangsur.

Pertama, mengenai status kepesertaan berbasis Kartu Keluarga (KK) yang sangat bergantung dengan kecepatan pemutakhiran data administrasi kependudukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Jika ada perubahan anggota keluarga (kematian, perceraian, dsb) maka peserta harus terlebih dahulu memperbaruinya di kantor kependudukan setempat untuk memastikan proses mengangsur iuran tidak terhambat oleh perubahan data kependudukan tersebut.

Syarat administrasi KK untuk mengangsur iuran ini nyatanya menghambat bagi peserta mandiri. Ketentuan ini diambil tanpa memperhitungkan konsekuensi yang muncul dari kualitas pelayanan administrasi kependudukan yang seringkali lambat dalam menerima layanan pembaruan Kartu Keluarga. Belum lagi ketentuan masa tunggu aktivasi kepesertaan mandiri yang cukup panjang – setidaknya 14 hari setelah pendaftaran untuk membayar iuran pertama – mengurangi minat peserta mandiri untuk mengurus ketentuan administrasi karena menyita waktu.

Kedua, mengenai transisi kepesertaan dari BPJS Ketenagakerjaan menjadi Peserta Mandiri. Dalam ketentuannya, kepesertaan BPJS Kesehatan melekat secara otomatis pada siapapun baik penerima upah maupun bukan. Jeda 6 bulan dalam masa transisi perubahan status tersebut, nyata – nyatanya menimbulkan banyak praktek penyimpangan mengenai kelanjutan pelayanan bersamaan dengan proses mengangsur iuran. Ditemukan satu peristiwa dalam riset Lokataru, dimana perubahan status tersebut malah banyak membebani calon peserta mandiri karena proses perubahan yang berbelit – belit dan membebani calon peserta dengan banyaknya ketentuan proses transisi tersebut.

Sementara dalam pemantauan kami, juga menemukan, persoalan lain, seperti hak pekerja para petugas medis yang dilanggar karena tidak menerima tunjangan sebagaimana mestinya di RSUD Dr. Slamet, Garut – Jawa Barat. Belum lagi dengan persoalan hukum yang tengah dihadapi oleh Presiden Joko Widodo akibat Surat Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan R Maya Armiani Rusady, Nomor 2004/III.2/2018 tanggal 14 Februari 2018 yang menghambat pasien atas nama Juniarti yang menderita kanker payudara HER 2+ untuk mendapatkan pengobatan Trastuzumab karena dinilai harganya terlalu mahal dan tidak memberikan efek medik yang bermakna oleh Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief.

Berdasarkan temuan dan pemantauan tersebut, Lokataru mendorong pentingnya hasil audit menyeluruh – tidak hanya dalam konteks arus kas dan keuangan – namun secara menyeluruh di dalam audit BPKP tersebut secara substansi apa yang menghambat peserta mandiri untuk mengangsur iuran secara teratur – ketimbang hanya memberikan kesimpulan singkat yang sesat dengan menunjuk rendahnya tanggung jawab peserta mandiri untuk mengangsur BPJS sebagai penyebab defisit kas BPJS Kesehatan tanpa data yang valid.

Lebih jauh, kami menilai bahwa sikap tidak bertanggung jawab ini, hanya akan menjauhkan Pemerintah Indonesia dari target mencapai Universal Health Coverage di tahun 2019. Dengan tren defisit yang terus terjadi dan sikap yang tidak profesional yang ditunjukan BPJS Kesehatan, serta tidak adanya solusi jitu mengatasi tata kelola keuangan BPJS Kesehatan dalam jangka panjang, justru hanya akan menimbulkan persoalan – persoalan yang menghambat pemberian layanan kesehatan guna meningkatkan kualitas hidup warga negara.

Solusi penanggulangan dengan mengeluarkan dana talangan melalui pajak cukai rokok untuk menambal defisit hanyalah langkah sementara; sementara Dirut BPJS Kesehatan masih belum jelas dalam mengantisipasi defisit kas yang masih mungkin terjadi ke waktu depan. Menaikkan iuran mungkin jadi salah satunya, namun tanpa penjelasan yang kredibel mengenai alasan kenaikan iuran justru berpotensi mengurangi minat publik untuk bergantung pada layanan BPJS Kesehatan.

Jakarta, 26 September 2018
Lokataru Foundation
Haris Azhar
Direktur Eksekutif