Jakarta, 4 Agustus 2019. Fasilitas kesehatan (Faskes) merupakan salah satu pilar penting dalam pemenuhan hak atas kesehatan dan jaminan sosial. Namun, kewajiban akreditasi faskes bagi  rumah sakit dan puskesmas – baik swasta maupun milik pemerintah – pada praktiknya telah menghambat masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan. Padahal pada tahun 2019 pemerintah Indonesia menargetkan semua masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan (universal health coverage).

Dalam laporan “Akreditasi Fasilitas Kesehatan: Meningkatkan Mutu atau Menghambat Akses?” yang dikerjakan oleh Lokataru Foundation selama Mei-Juli 2019 menyoroti beberapa persoalan yang menghambat rencana pemerintah tersebut. Pertama adanya 720 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan yang belum terakreditasi pada Desember 2018, lalu hingga April 2019 masih ada 52 rumah sakit  yang habis masa akreditasinya. Ini belum termasuk dengan 482 rumah sakit yang masa akreditasinya akan habis di tahun 2019.

Kedua, akibat pemutusan hubungan kerja sama atau terlambatnya proses akreditasi; ada banyak pasien dengan kategori membutuhkan penanganan intensif harus tertunda. Sebagai contoh, ada 35 pasien yang terhambat untuk mendapat layanan fasilitas cuci darah akibat dari adanya pemutusan hubungan kerja sama antara RS Siloam Asri, Jakarta Selatan dengan BPJS Kesehatan

Ketiga, asosiasi fasilitas kesehatan seperti Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia (PKFI) mengatakan bahwa proses akreditasi ini menyulitkan akreditasi bagi mereka sebagai penyedia jasa fasilitas kesehatan. Kesulitan yang dialami, di antara lain:  Mulai dari faktor sumber daya manusia atau tenaga kerja yang tidak sesuai kompetensi serta faktor sarana dan prasarana yang harus dilengkapi pada suatu faskes. Proses birokrasi yang berbelit-belit dan memakan biaya juga menjadi pangkal persoalan ini.

Ketiga permasalahan tersebut tersebar di banyak wilayah: seperti, Jakarta, Makassar, Medan, Tangerang, Manado, Yogyakarta, Surabaya, Pare-Pare, Magelang, Malang, Ambon dan daerah lainnya. Ironisnya, masalah akreditasi faskes ini terjadi di rumah sakit dan puskesmas yang berada di kota – kota besar; dimana banyak masyarakat yang tidak mendapatkan fasilitas layanan kesehatan memadai di tingkat kecamatan bergantung pada faskes – faskes di kota besar.

Oleh karena itu, pertama, kami menuntut pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan bagian Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan bersama-sama dengan Komisi Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (KA-FKTP), Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dan juga BPJS Kesehatan untuk mengevaluasi kebijakan akreditasi faskes dengan tetap berorientasi pada pemenuhan hak atas kesehatan dan jaminan sosial masyarakat. Proses tersebut juga harus melibatkan berbagai asosiasi fasilitas kesehatan maupun komunitas masyarakat sipil yang terdampak langsung akibat kebijakan akreditas faskes ini. Dengan demikian, kami berharap kewajiban akreditasi faskes tidak akan menghambat pemenuhan hak atas kesehatan dan jaminan sosial bagi masyarakat.

Kedua, bagi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk mengevaluasi secara umum sistem JKN-KIS yang telah diselenggarakan BPJS Kesehatan sejak 2014. Permasalahan akreditasi fasilitas kesehatan dapat menjadi batu ganjalan bagi Indonesia yang memiliki cita-cita mencapai Universal Health Coverage (UHC) atau cakupan kesehatan bagi seluruh penduduk di Indonesia. Cita-cita tersebut tidak dapat tercapai dengan hanya terdaftarnya seluruh penduduk sebagai peserta JKN-KIS tetapi yang perlu diperhatikan untuk mencapai cita-cita tersebut ialah bagaimana memastikan adanya ketersedian dan kualitas dari pelayanan fasilitas kesehatan yang memadai sampai ke pelosok negeri.

Haris Azhar, S.H., M.A. (Direktur Eksekutif Lokataru)