Jakarta, 13 Januari 2021. Hari ini, Presiden Joko Widodo beserta sejumlah pejabat publik dan pesohor lainnya menerima suntikan vaksin Sinovac. Prosesi ini sekaligus menandakan dimulainya rangkaian vaksinasi massal Covid-19 di Indonesia.

Di hari yang sama, hasil uji klinis tahap ketiga di Brasil menunjukan angka efikasi Sinovac menurun menjadi 50,4 persen dari hasil uji semula, yakni 78 persen. Dua hari sebelum penyuntikan Presiden, BPOM mengeluarkan izin penggunaan darurat berbekal hasil uji klinis Sinovac sebesar 63,5 persen. 

Efikasi vaksin Sinovac memang sudah sesuai dengan standar World Health Organization (WHO), yakni 50 persen. Namun, kita belum bisa menarik napas lega. Seremoni pagi tadi masih meninggalkan sekelumit persoalan:

Pertama, meski rangkaian uji klinis telah “meluluskan” vaksin Sinovac, vaksin ini masih bermasalah. Klaim kedaruratan pemerintah tak akan bisa menutupi fakta ini. 

Dari hasil uji terkini di Brasil, diberitakan angka efikasi turun drastis hampir 30 persen dari hasil yang diumumkan sebelumnya. Butantan Institute, lembaga yang mengadakan uji klinis Sinovac di Brasil, menyebutkan hasil 78% persen diperoleh ketika hanya sukarelawan yang terjangkit Covid-19 dengan gejala ringan hingga parah yang diumumkan. 

Belakangan, saat sukarelawan dengan gejala “sangat ringan” ikut dihitung, efikasi anjlok jadi 50,4 persen. Padahal kita tahu, mereka yang bergejala sangat ringan masih bisa menularkan virus. Perbedaan data yang mencolok ini bisa terjadi akibat buruknya transparansi data uji klinis Sinovac di berbagai negara. Ini yang luput (atau sengaja tidak dibahas) oleh pemerintah.

Kedua, seremoni penyuntikan Presiden, ketimbang memberi rasa aman, malah menunjukkan inkompetensi dan laku gegabah pemerintah yang hendak ditutup-tutupi. Teater politik pemerintah seolah mengabarkan kalau dalam belasan bulan, berkat vaksinasi massal pandemi akan pergi begitu saja. 

Tak heran, meskipun para pesohor turut disuntik sebagai jaminan keamanan vaksin, publik tak lantas percaya. Pasalnya, kewajiban pemerintah mengenai pengendalian wabah (3T) – yang gagal dipenuhinya hingga hari ini – nampak ingin ditebus dengan kedatangan vaksin Sinovac. Walhasil, saat vaksinasi massal dilakukan terburu-buru, karantina wilayah dan pembatasan mobilitas yang serius tetap tidak dilakukan, penerbangan domestik masih lalu lalang, angka testing kembang kempis, dan promosi wisata jalan terus. 

Sedangkan penambahan jumlah penderita aktif sudah mencapai angka delapan ratus ribu, fasilitas dan tenaga kesehatan kolaps satu persatu dan pasien pun terancam tidak mendapat pelayanan kesehatan yang maksimal. 

Perlu kami tegaskan, apapun vaksinnya, ia tak bisa jadi jalan pintas bagi negara yang sejauh ini lalai dalam melindungi keselamatan warga. Dengan status vaksin yang masih mengundang pertanyaan, maka pada perhelatan tadi sesungguhnya Presiden hanya menyediakan tontonan unjuk keberanian jadi yang disuntik paling pertama, ketimbang menebus dosa-dosa pemerintahannya sejak virus merebak Februari lalu.

Jika dibiarkan seperti ini, gegap gempita kampanye vaksinasi malah bisa menimbulkan bencana berkali lipat: masyarakat lengah lantaran menganggap pandemi umurnya tak lama lagi hingga efek samping dari vaksin yang dampaknya kita nantikan dengan cemas.

Ketiga, kehendak pemerintah menempatkan vaksin sebagai juru selamat wabah akhirnya memaksa warga untuk ‘tunduk’ dengan ancaman denda dan pidana. Ini adalah edisi terkini dari upaya pemerintah untuk membebankan tanggung jawab penanggulangan pandemi sepenuhnya di pundak warga. 

Saat tahun lalu para pejabat lomba berguyon soal pandemi, mempromosikan pariwisata dan menolak lockdown, kini warga lagi yang kena getah dituding menggali kubur sendiri, lantas diancam pidana apabila tidak bersedia divaksin. 

Pandemi bisa kita kalahkan bersama, dengan syarat:  Yang utama, Pemerintah harus akui bahwa kelalaiannya sejak Februari telah melanggar sumpahnya sendiri perihal “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”: dengan mengabaikan prosedur karantina wilayah yang mensyaratkan ditutupnya perlintasan internasional sesuai amanat UU Kekarantinaan Kesehatan. 

Toh rencana pemulihan ekonomi nasional yang diusung serentak dengan penekanan laju wabah terbukti tak mampu menggapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, justru yang ada malah anjuran liburan dengan embel-embel klise soal protokol kesehatan. 

Sekali lagi, pemerintah wajib dahulukan keselamatan warga di atas kepentingan bisnis dan proyek-proyek negara. Stop gegabah dengan vaksinasi massal, apalagi dengan produk yang masih diragukan kemanjurannya. Dahulukan sosialisasi, tinggalkan ancaman pidana. Terakhir, lindungi hak warga dengan tidak seenaknya menjadikan kedaruratan sebagai dalih untuk memberangus kebebasan sipil warga negara.

Mirza Fahmi

Manajer Program Lokataru Foundation