Oleh: Iwan Nurdin
Mahkamah Agung (MA) telah membuat putusan penting terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. Putusan Kasasi ini, mengabulkan permohonan Forest Watch Indonesia (FWI) bahwa HGU adalah dokumen yang harus dibuka kepada publik. Menurut MA, Pemerintah khususnya kementerian terkait harus membuka dokumen HGU khususnya: nama pemegang, lokasi, luasan, jenis komoditas dan peta area HGU, karena hal tersebut bukanlah bagian yang dikecualikan oleh UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Putusan ini sangat penting, karena mengembalikan dasar pijak bahwa HGU adalah jenis hak yang diberikan negara kepada setiap orang di atas “Tanah Negara” dengan pembatasan luas dan jangka waktu. Karena konstruksi pemberian hak atas tanah di atas tanah negara inilah, keterbukaan proses pra-pemberian hak hingga berakhirnya hak tersebut diwajibkan terbuka kepada publik seharusnya dapat dimengerti termasuk oleh kalangan pengusaha.
Akibat putusan ini, terdapat kekhawatiran kalangan pengusaha perkebunan bahwa keterbukaan HGU akan mengakibatkan penjarahan tanah perkebunan oleh masyarakat sekitar kebun. Sebab, data HGU yang akan berakhir jangka waktunya akan memicu pendudukan lahan oleh masyarakat, gerakan pendudukan tanah ini bertujuan agar HGU tidak dapat diperpanjang karena sedang berkonflik dan dapat diserahkan sebagian kepada masyarakat.
Konflik agraria perkebunan memang terbilang paling banyak disbanding sektor lainnya. Mengacu kepada data yang dilansir oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam 5 tahun terakhir saja telah terjadi 745 kejadian konflik agraria di perkebunan dengan melibatkan sedikitnya 372 ribu KK dengan luasan konflik mencapai 445 ribu hektar.
Konflik agraria perkebunan dimulai dari rentang awal fase administrasi seperti izin lokasi dan izin usaha yang tumpang tindih dengan wilayah masyarakat, fase pembangunan kebun dengan perjanjian kemitraan yang tertutup, fase konversi kebun plasma yang tidak sesuai dengan perjanjian hingga ke konflik pada fase produksi seperti pungutan liar, harga pembelian yang murah. Pendeknya, konflik agraria perkebunan merentang sejak dari penunjukan lahan lokasi perkebunan hingga kepada perkebunan yang sudah panen.
Meski banyak mengalami konflik, toh laju perluasan HGU masih tetap kencang. Menurut BPN pada 2013, terdapat 26.366.788 bidang tanah yang bersertifikat di Indonesia dengan luas 72.954.190 Ha. Di dalamnya terdapat 10.368 sertifikat HGU, namun luasannya mencapai 46 persen atau sekitar 33.5 juta ha dari tanah bersertifikat tersebut.
Transformasi Industri Perkebunan
Benarkah putusan MA ini akan memicu konflik agraria lebih luas? Menurut hemat penulis, justru putusan ini adalah salah satu jalan bagi penyelesaian konflik agraria perkebunan. Jika pemerintah menjalankan putusan ini, akan membuka tabir gelap bahwa banyak HGU yang selama ini diberikan tidak sesuai luasan dan peruntukannya. Disinyalir, lahan perkebunan di lapangan jauh lebih luas dibandingkan dengan sertifikat yang diberikan pemerintah dan banyak menjarah tanah masyarakat.
Jika dikaitkan dengan rencana reforma agraria yang hendak dijalankan oleh pemerintah, putusan ini sebenarnya dapat membuka peluang ditemukannya objek reforma agraria di sekitar perkebunan dan dapat diserahkan kepada masyarakat miskin.
Dampak positif lain dari putusan ini adalah pintu masuk bagi transformasi pemberian HGU dan transformasi perkebunan nasional. Dari sisi pemberian HGU, terjadi mengharuskan transformasi dari sisi BPN untuk melakukan proses yang transparan sejak dari pra pendaftaran hingga proses penerbitan HGU. Kemudahan masyarakat dalam mengakses informasi dibidang pertanahan harus dipandang sebagai control publik dan salah satu cara untuk mencegah terjadinya praktik korupsi serta mencegah terjadinya konflik agraria di masa depan akibat proses penerbitan HGU.
Sementara dari sisi transformasi HGU, sisi yang sangat penting adalah mengembalikan HGU kepada “khittah”nya. Telah lama dilupakan bahwa di dalam UUPA No.5/1960 pada pasal 12 dan 13 diuraikan bahwa pemberian hak atas tanah bagi lapangan usaha seperti HGU, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, haruslah diprioritaskan untuk lapangan usaha bersama, gotong royong, mencegah monopoli tanah dan penghisapan manusia atas manusia. Lapangan usaha semacam ini, dalam penjelasan dimaksudkan untuk membentuk suatu formasi kapital progresif domestik.
Tiada lain makna dari pasal ini adalah agar HGU diberikan prioritas utama kepada petani dan masyarakat umum lainnya dalam bentuk koperasi bukan korporasi. Selama puluhan tahun, HGU dimaknai dan dimplementasikan secara menyeleweng sehingga sekedar nama lain dari hak erpacht di era kolonial. Tujuan HGU untuk menciptakan formasi modal nasional yang dimiliki petani, dimana keuntungan dinikmati rakyat dan direinvetasi di tengah-tengah rakyat tak pernah terjadi.
Karena itu, putusan ini sebenarnya membuka kerangka transformasi perkebunan dengan wujud koperasi yang dimiliki oleh organisasi petani, buruh kebun dan masyarakat lainnya. Ini juga sebuah visi besar dimana negara mengidealkan bahwa usaha perkebunan modern dimiliki oleh rakyat. Lalu bergerak kemanakah pengusaha perkebunan, tentu secara terukur harus mengarah kepada pengolahan dan industri hilir lainnya. Karena itu, roadmap industry perkebunan harus segera dibuat oleh pemerintah. Cetak biru perkebunan saat ini yang tiada banyak berubah dengan era colonial sudah saatnya direformasi secara menyeluruh.
Dengan roadmap bersandarkan koperasi dan petani semacam ini, kebijakan pendidikan, perbankan, pertanian, perkebunan dan administrasi pemberian hak guna usaha haruslah dalam satu sinergi.
Jakarta, 11 April 2017
Iwan Nurdin