Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mengutuk keras represifitas aparat kepolisian dan TNI dalam mengawal kebijakan pemerintah dan investasi skala besar pariwisata super premium Labuan Bajo. Di bawah jargon pariwisata super-premium, pemerintah mengubah pariwisata di Labuan Bajo yang sebelumnya berbasis komunitas dan berkelanjutan menjadi berbasis privatisasi dan monopoli. Untuk mempercepat tujuan itu, pemerintah menempuh berbagai cara, diantaranya:
Pertama, penetapan Labuan Bajo dan sekitarnya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dengan menempatkan TN Komodo sebagai episentrum investasi. Dalam Integrated Master Plan Tourism yang disusun Pemerintah terdapat rencana pembangunan infrastruktur oleh APBN serta investasi. Saat ini, Pemerintah telah menetapkan Pulau Rinca dan kawasan perairan sekitarnya sebagai destinasi wisata massal, sedangkan Pulau Komodo, Pulau Padar dan wilayah perairan sekitarnya sebagai destinasi wisata eksklusif dengan tarif Rp 3.75 Juta yang dikelola oleh PT Flobamor (BUMD Pemprov NTT).
Kedua, di wilayah Labuan Bajo daratan, pemerintah membangun infrastruktur penunjang wisata premium seperti KEK Golo Mori, sebelah Selatan Kota Labuan Bajo, 400 hektar di Hutan Bowosie-Hutan pelindung Kota Labuan Bajo dan geothermal di Desa Wae Sano sebagai sumber
energi listrik. Seluruh pembangunan ini dilakukan secara sentralistik dan otoriter oleh Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo.
Ketiga, represifitas aparat bersenjata atas permintaan pemerintah daerah selalu digunakan sebagai cara Negara memperlakukan Rakyatnya.
Keempat, akibat ditetapkan sebagai KSPN, proyek di Labuan Bajo, Pulau Komodo dan Pulau Rinca akhirnya dilakukan secara serampangan dan menyebabkan menyebabkan krisis lingkungan. Perencanaan pun nihil partisipasi masyarakat, karena pemerintah menilai rakyatnya
hanya akan menghambat bisnis wisata mereka.
Pengelolaan Pulau Komodo, Pulau Padar dan kawasan perairan sekitarnya secara eksklusif akan sangat merugikan usaha-usaha pariwisata lokal yang berbasis usaha kecil dan menengah. Tak dapat dibantah bahwa aktivitas pariwisata di Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan sekitarnya
telah memberi kontribusi positif secara perekonomian kepada warga lokal.
Selain ketersediaan lapangan pekerjaan pada sektor pariwisata (jasa perjalanan, pemandu wisata, perhotelan, kuliner, transportasi), sektor-sektor primer seperti pertanian, peternakan dan perikanan juga turut berkembang pesat. Dengan demikian, jika kebijakan ini diberlakukan maka masyarakat lokal akan kehilangan mata pencaharian, sebab kenaikan tiket yang disertai dengan pembatasan kunjungan ke TN Komodo akan mematikan aliran pendapatan kepada warga lokal karena menurunkan minat wisatawan berkunjung ke TN Komodo.
Kebijakan ini juga sangat berdampak buruk bagi keberadaan warga Komodo, masyarakat asli yang telah lama menempati Pulau Komodo. Jauh sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional Komodo (TNK) pada tahun 1980 dan masuk dalam daftar situs warisan dunia UNESCO pada tahun 1991, telah lama hidup penduduk asli Pulau Komodo yang disebut Ata Modo. Selama berabad-abad Ata Modo hidup berdampingan dengan kawanan kadal purba, komodo (varamus komodoensis), yang dianggap sebagai saudara kandung mereka. Seharusnya hal ini dapat dipahami bahwa peran Ata Modo dalam melestarikan komodo dan lingkungan hidupnya sudah terbukti sejak zaman dahulu.
Kebijakan pemerintah terkait TNK sejak zaman kolonial Belanda hingga hari ini, telah mengubah kehidupan sosial ekonomi dan budaya penduduk asli Pulau Komodo secara drastis. Dari masa ke masa, kepentingan masyarakat terpinggirkan oleh konservasi dan pengembangan wisata. Sejak diresmikan sebagai pulau konservasi, Ata Modo direlokasi dan dilarang untuk berburu ataupun bertani di Pulau Komodo sehingga beralih menjadi nelayan. Namun pada tahun 1990-an, wilayah konservasi diperlebar hingga ke wilayah laut. Sehingga Ata Modo terpaksa kembali beralih profesi menjadi pelaku pariwisata, seperti halnya pemandu wisata, agensi pariwisata, pekerja hotel, pekerja kapal, penjual souvenir, supir angkutan wisata, dlsb.
Celakanya, pembangunan suara-suara protes warga ini justru diprotes oleh warga dengan cara represif. Masyarakat Labuan Bajo saat ini menghadapi ancaman yang lebih besar, yakni tersingkir dari kampung halaman mereka. Di balik rezim hukum pembangunan hari ini, dengan mengatasnamakan Penggusuran Skala Nasional (PSN) atau yang disebut Pemerintah Indonesia dengan Program Strategis Nasional, status quo segelintir elit dikuatkan untuk mengeksploitasi
sumber-sumber agraria di Labuan Bajo dengan mudah.
PSN sebagai jalur cepat pembangunan di Labuan Bajo, senantiasa diiringi dengan pendekatan represif. Mengatasnamakan PSN, Badan Pengelola Otoritas Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BPO-LBF) membangun kawasan wisata premium Labuan Bajo tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Sebelumnya pada Kamis (21/4), untuk kepentingan pengembangan bisnis wisata Hutan Bowosie di Labuan Bajo menurunkan puluhan aparat gabungan TNI dan Polri yang bertindak represif dan menggusur warga Kampung Rancang Buka. Melalui skema pembebasan dan klaim kawasan hutan, pembangunan menggusur tanah-tanah dan kebun masyarakat di Labuan Bajo.
Proses pengadaan tanah bagi pengembangan PSN dan infrastruktur pendukungnya yang serampangan tanpa melibatkan masyarakat terdampak telah melahirkan berbagai kasus perampasan tanah. Praktek-praktek ini semakin cepat terjadi, sebab pemerintah memberikan berbagai kemudahan melalui regulasi. Catatan Akhir Tahun KPA 2021 mencatat, sepanjang tahun tersebut telah terjadi sebanyak 38 konflik agraria akibat PSN. Angka ini meningkat drastis
dibanding tahun 2020 dengan jumlah 17 konflik akibat proyek-proyek strategis nasional tersebut.
Jika dikalkulasikan, 50% dari PSN yang berjalan pada tahun 2021 menyebabkan konflik agraria yang diikuti dengan jatuhnya korban-korban kekerasan dan kriminalisasi. Pada Senin (1/8), kembali terjadi gempuran ambisi elit bisnis di Labuan Bajo. Per 1 Agustus 2022 Pemerintah bersikeras menaikkan tarif masuk TNK, yaitu dari Rp 50.000 untuk wisatawan lokal dan Rp 150.000 untuk wisatawan mancanegara menjadi Rp 3.750.000. Pasca pariwisata mati suri karena pandemi Covid-19, suatu ironi bila Pemerintah mematikan ekonomi masyarakat yang saat ini sebagian besar merupakan pelaku pariwisata. Sebab pihak yang diuntungkan dari kenaikan tiket hanyalah elit bisnis, seperti halnya PT. Synergindo Niagatama, PT. Komodo Wildlife, dan PT. Flobamora.
Untuk menolak monopoli bisnis wisata premium Labuan Bajo, Forum Masyarakat Peduli Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat melakukan aksi damai, mulai dari bakti sosial membersihkan lingkungan dan melakukan mogok beraktivitas selama sebulan, yaitu mulai tanggal 1 Agustus 2022. Bandara sepi, pelabuhan tidak beroperasi, kegiatan pariwisata tidak berjalan sebagaimana biasanya. Hingga para turis yang datang terpaksa dijemput dan diantar
dengan angkutan umum yang dikendarai polisi.
Seperti sebelumnya, terjadi represifitas aparat terhadap aksi damai pada Senin (1/8). Aksi massa dibubarkan paksa dan ada tembakan yang dilepaskan ke udara. Aparat kepolisian, brimob, satpol pp dan tentara turun mengamankan. Sebanyak 42 orang ditangkap dan puluhan orang mengalami penganiayaan selama aksi. Selain itu juga terdapat 1 orang yang ditangkap akibat membuat postingan aksi di sosial media, dan 2 orang mengalami penganiayaan ketika mengunjungi kawan mereka yang ditahan di Polres Manggarai Barat.
Tindakan kekerasan, represifitas yang dilakukan oleh pihak kepolisian bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM. Selain itu, seharusnya aparat keamanan harus dapat menghormati hak asasi manusia, terlebih lagi demonstrasi yang dilakukan adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang sudah dijamin oleh berbagai aturan hukum nasional maupun internasional.
Bahwa setidaknya, dalam aksi damai tersebut terdapat 1 orang ditetapkan sebagai tersangka pada aksi damai tersebut menggunakan Pasal 14 UU 1/1946 atau Pasal 336 ayat (1) dan (2) KUHP. Sebagian besar peserta aksi sudah dibebaskan, setelah membuat pernyataan permintaan maaf dan menyebut Ketua Formapp Mabar (yang ditetapkan tersangka) melakukan penekanan untuk ikut serta dalam aksi. Bahkan segera menyusul, pada hari Rabu (3/8), Ketua Formapp Mabar beserta 19 asosiasi yang tergabung Formapp Mabar menyatakan setuju pada kenaikan tarif masuk TNK.
Namun belum diketahui pasti apakah keputusan dibuat secara sadar atau karena ada paksaan. Hingga saat ini, belum ada proses pendampingan terhadap korban kekerasan aparat. Kekerasan fisik dan tekanan psikis akibat represifitas aparat berdampak buruk pada masyarakat yang menolak kebijakan monopoli bisnis wisata, utamanya pada masyarakat adat dan perempuan yang juga mempertahankan tanah dan ruang hidupnya. Proyek-proyek pembangunan seringkali
menempatkan masyarakat adat dan perempuan, menjadi elemen yang tidak terhitung dalam dampak pembangunan.
KNPA menilai bahwa narasi konservasi dan pengembangan wisata oleh pemerintah di Labuan Bajo, tidak ubahnya alat perampas tanah dan ruang hidup Ata Modo. Kerusakan lingkungan, berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, peminggiran masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan lainnya di Labuan Bajo “diputihkan” dengan kebijakan pembangunanisme.
Ambisi wisata premium Labuan Bajo menambah daftar panjang praktik perampasan tanah dan ruang hidup atas nama PSN. Maka berdasar situasi tersebut di atas, KNPA mendukung sepenuhnya aksi mogok pelaku pariwisata di Labuan Bajo. KNPA juga menyerukan untuk dengan segera, kepada:
- Gubernur Nusa Tenggara Timur hentikan perampasan tanah rakyat Labuan Bajo atas nama pembangunan kawasan wisata premium Labuan Bajo-Flores;
- Gubernur Nusa Tenggara Timur hentikan segala kebijakan pembangunanisme yang melanggar hak-hak masyarakat adat, perempuan, dan kelompok rentan lainnya di Nusa Tenggara Timur;
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia hentikan segala bentuk tindakan intimidatif dan berbagai upaya kriminalisasi terhadap para pejuang hak atas tanah dan pejuang lingkungan;
- Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif cabut kebijakan kenaikan tarif masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar;
- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengevaluasi praktik konservasi di Taman Nasional Komodo (TNK) karena telah mengingkari hak-hak masyarakat sekaligus mengakomodasi kepentingan pembangunan ekstraktif, terutama hotel-hotel untuk industri pariwisata skala besar;
- Presiden Republik Indonesia mengevaluasi dan mencabut keberadaan izin semua perusahaan pariwisata yang berada dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
- Presiden Republik Indonesia mencabut Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo-Flores;
- Presiden Republik Indonesia mengevaluasi seluruh daftar Proyek Strategis Nasional yang menggusur dan merampas ruang hidup rakyat.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan agar menjadi perhatian semua pihak. Terima kasih.
Hormat kami
Komite Nasional Pembaruan Agraria
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
- Aliansi petani Indonesia (API)
- Serikat Petani Indonesia (SPI)\
- Solidaritas Perempuan (SP)
- Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
- Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
- Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
- Lokataru Foundation
- Bina Desa
- Sajogyo Institute (Sains)
- Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
- Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
- Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
- Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
- Transformasi untuk Keadilan Indonesia (Tuk-Indonesia)
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
- Sawit Watch (SW)
- Perkumpulan HuMa Indonesia
- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
- Trend Asia
- Extinction Rebellion Indonesia
- Enter Nusantara
- Greenpeace Indonesia
- Indonesia for Global Justice
- WALHI Nusa Tenggara Timur
- Sunspirit – For Justice and Peace
- Perkumpulan Bantuan Hukum Nusa Tenggara
- Indonesia for Global Justice (IGJ)