Oleh: Iwan Nurdin

Mengawali 2017, Presiden Jokowi dalam rapat paripurna Kabinet Indonesia Kerja menyatakan bahwa tahun ini pemerintah akan memfokuskan kerja untuk mewujudkan pemerataan ekonomi melalui reforma agraria. “Caranya dengan melakukan redistribusi tanah dan legalisasi asset (baca: sertifikasi) tanah-tanah rakyat”, demikian Presiden.

Ini adalah ketiga kalinya Presiden Jokowi mengemukakan reforma agraria dalam rapat kabinet. Tahun lalu, bahkan diselenggarakan Rapat Kabinet Terbatas khusus membahas Reforma Agraria. Lalu, mengapa reforma agraria jalan ditempat? Sampai saat ini, menurut catatan penulis, redistribusi tanah baru mencapai 1 persen dari target yaitu 37,422 hektar tanah oleh Kementerian ATR/BPN dan 13,000 hektar dengan skema pengakuan hutan adat oleh KLHK. Pemerintah sendiri melaporkan telah melakukan redistribusi tanah seluas 187, 265 hektar, atau 4,2 persen dari target.

Lambatnya proses pelaksanaan reforma agraria oleh pemerintah disebabkan oleh ketiadaan visi reforma agraria dan lemahnya inisiatif Kementerian ATR/BPN dalam memimpin, mengkoordinasikan kementerian lain dan kelompok masyarakat sipil rencana pelaksanaan reforma agraria. Hal ini menyebabkan kerangka regulasi operasional reforma agraria yang hendak dijalankan oleh pemerintah belum juga diselesaikan. Draft Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria sampai saat ini belum terdengar kabar akan disahkan.

 

Lokasi Prioritas

Sampai sekarang, ada kesenjangan pemahaman terkait dengan reforma agraria yang disebut oleh pemerintah dan kalangan masyarakat sipil. Pemerintah membagi reforma agraria menjadi dua komponen besar yaitu redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar dan sertifikasi tanah seluas 4,5 juta hektar. Kesemuanya harus dalam kategori clear and clean dari tumpang tindih izin dan konflik alias fresh land.

Sementara, kalangan masyarakat sipil khususnya kalangan gerakan reforma agraria mendorong agar tanah yang hendak diredistribusikan dilakukan pada wilayah yang dimana terjadi ketimpangan agraria yang mencolok dan konflik agraria. Pandangan ini didasarkan pada tujuan utama reforma agraria adalah menurunkan ketimpangan, menyelesaikan konflik agraria, meningkatkan kesejahteraan dan keberlanjutan lingkungan hidup. Karena itu, area-area perkebunan dan kehutanan yang selama ini menjadi titik ledak konflik agraria karena tumpang tindih izin, penyuapan atau akrobat hukum lainnya adalah lokasi prioritas pelaksanaan reforma agraria.

Salah satu yang sumber keraguan pemerintah melakukan reforma agraria pada lokasi semacam ini adalah resiko bahwa langkah ini dipandang sebagai penyulut iklim buruk investasi, instabilitas, kepastian hukum, pertumbuhan ekonomi. Bukankah pada akhirnya langkah ini akan mengancam kesejahteraan umum yang lebih luas.

Tapi, keengganan melakukan reforma agraria pada wilayah semacam ini juga telah membuat ketidakstabilan politik dan kerugian sosial ekonomi yang cukup besar. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2016 telah terjadi sedikitnya 450 konflik agraria pada wilayah seluas 1,2 juta hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Meningkat dari 252 konflik pada tahun 2015. Jika di rata-rata, maka setiap hari terjadi satu konflik agraria dan 7.756 hektar lahan terlibat dalam konflik.

Maraknya konflik agraria, perampasan tanah, perusakan lingkungan telah membuat daya saing produk industri perkebunan dan kehutanan Indonesia mudah diboikot oleh organisasi konsumen global, dan dibebani aneka beban non tarif dalam perdagangan internasional karena memenuhi standar global terkait dengan lingkungan hidup dan HAM. Beban semacam ini kemudian kembali lagi kepada masyarakat melalui pembelian harga produk petani swadaya secara murah oleh industriawan bahkan pada berkaibat pada hubungan industrial yang buruk seperti upah buruh murah, pelibatan buruh anak, dan perusakan lingkungan hidup. Masalah yang seolah berputar-putar di ketiak ular.

 

Langkah Percepatan

Mengingat kompleksitas masalah dan saling berkelindan oleh karena tidak berjalannya reforma agraria, bahkan jika dijalankannya secara salah, maka dibutuhkan langkah berani sekaligus bijak oleh pemerintah.

Beberapa langkah yang harus segera dilakukan segera adalah: pertama, pada tataran politis presiden sebaiknya memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria yang pararel dengan penyelesaian konflik agraria struktural yang ada. Kedua, pada tataran regulasi, pemerintah segera mengesahkan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria. Ketiga, pada sisi implementasi membuka partisipasi aktif masyarakat sipil dalam mendaftarkan lokasi, mengorganisakan penerima manfaat serta model pembangunan berkelanjutan pada lokasi pelaksanaan reforma agraria.

Pada akhirnya, reforma agraria adalah perkara komitmen politik yang dibarengi dengan mencapai visi agraria konstitusi. Sejak awal kemerdekaan, ketika pemerintah menjalankan reforma agraria terbatas dengan menghapus tanah partikelir dan desa perdikan, atau hingga era reformamasi ini dengan Tap MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, reforma agraria adalah perkara komitmen politik yang kuat dari penguasa.