Kondisi penanganan pandemi oleh Pemerintah makin tak karuan. Kasus konfirmasi positif telah mencapai lebih dari 2,5 juta, positivity rate per hari menyentuh angka 42,6 persen. Belum lagi ruang publik kita ramai dengan cerita warga yang harus kehilangan nyawa saat di perjalanan mencari fasilitas kesehatan (faskes), padatnya antrian oksigen. Bahkan bagi mereka yang sedang isolasi mandiri (isoman) di rumah, ancaman kematian tetap menghantui.
Kondisi penanganan COVID-19 diperparah oleh: pertama, tabiat Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) yang turut membawahi Satgas COVID-19, Airlangga Hartarto, yang masih sempat membuka celah rente dengan ide komersialisasi vaksin melalui Kimia Farma. Ide Airlangga berbuah pada direvisinya peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19.
Program vaksinasi yang seharusnya dijalankan dengan prinsip aksesibilitas; baik secara geografis maupun ekonomi malah dijadikan barang dagangan alih-alih barang publik (public goods). Padahal, Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI 1945 sudah menegaskan bahwa kesehatan adalah hak dan negara bertanggung jawab untuk memenuhinya.
Perilaku ini menandakan Pemerintah ingkar dari tanggung jawabnya (state obligation) dalam pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia khususnya hak atas kesehatan. Tidak bisa tidak, gagasan vaksinasi berbayar wajib dibatalkan bukan sekedar ditunda.
Airlangga Hartarto, yang gagal dalam menangani COVID-19 maupun memulihkan ekonomi, perlu segera dicopot dari jabatannya selaku pengendali pandemi. Penanganan wabah harus kembali diserahkan pada ahlinya. Jika tidak, bencana pandemi akan terus bertambah parah: baik oleh varian virus yang kian beragam, maupun oleh inkompetensi dan watak pencari rente yang bersarang kuat di tubuh pemerintahan itu sendiri.
Akhir tahun lalu BPK mengumumkan bahwa penanganan COVID-19 sendiri sudah menghabiskan anggaran sebesar 1.035,25 triliun. Bahkan tahun ini, anggaran KPC-PEN hampir menyentuh angka 700 triliun. Sedari awal sudah jelas bahwa pemerintah lebih mementingkan perekonomian ketimbang memberantas pandemi secara serius dan konsisten. Kini, apa lagi justifikasi dari pola pikir seperti ini?
Kedua, krisis oksigen. Hal ini menegaskan tidak berfungsinya Satgas COVID-19 serta lalainya Pemerintah dalam menjalankan amanat Pasal 16 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menegaskan Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh warga untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Kelangkaan oksigen disebabkan karena Satgas COVID-19 GAGAL mengantisipasi keadaan ketika sejak akhir Mei warga mulai berbondong-bondong kesulitan mencari tabung oksigen. Satgas COVID-19 gagal melaksanakan, mengendalikan hingga melakukan pengawasan secara cepat dan tepat berkaitan dengan penanganan COVID -19 sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 Perpres No 82 Tahun 2020. Kegagalan ini telah mengakibatkan kepanikan masyarakat, kematian, hingga terancamnya keselamatan seluruh warga.
Ketiga, tewasnya ratusan pasien isolasi mandiri. Hal ini tentu dipicu oleh kolapsnya fasilitas kesehatan, yang hingga hari ini masih malu-malu untuk diakui pemerintah. Namun, kondisi ini dibikin makin runyam dengan absennya pengawasan dan pelayanan kesehatan yang seharusnya tetap dapat diberikan ketika faskes sudah kolaps. Hingga rilis ini disusun, LaporCovid-19 mencatat sebanyak 619 orang meninggal saat tengah melakukan isoman.
Absennya pelayanan bagi warga yang isoman disebabkan oleh tidak maksimalnya pelayanan telemedicine (layanan dokter jarak jauh). Parahnya, Pemerintah baru dapat mengaktifkan layanan telemedicine baru terlaksana pada tanggal 7 Juli 2021, ketika Kementerian Kesehatan melakukan kerjasama dengan 11 platform telemedicine.
Seharusnya hal ini bisa dari jauh-jauh hari teratasi kalau BPJS Kesehatan kita sedikit berguna. Hingga pandemi berlangsung lebih dari 1 tahun, tak ada lagi peran yang dilakukan BPJS Kesehatan selain menjadi verifikator klaim biaya rumah sakit yang menangani COVID. Padahal, sebagai badan yang mengaku menganut prinsip Universal Health Coverage (UHC), BPJS Kesehatan dapat berperan untuk meringankan pandemi.
BPJS Kesehatan sejak awal harusnya dapat memastikan alur maupun skema pelayanan telemedicine. Sehingga warga yang sedang isoman tidak perlu khawatir terhalang biaya demi memperoleh screening kondisi tubuh, pasokan obat-obatan serta vitamin. Dengan begitu, Universal Health Coverage yang dianut BPJS Kesehatan tidak hanya sekedar jargon, tetapi dapat sungguh-sungguh dirasakan manfaatnya oleh warga, terutama di tengah kecamuk pandemi.
Tiba waktunya bagi Pemerintah untuk berhenti mengelabui warga dengan jargon “Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi.” Hal-hal di atas terang menunjukan bahwa pandemi di Indonesia tak terkendali, meski pemerintah pontang-panting berusaha terlihat optimis. Wajar saja. legitimasi rezim terus terancam karena ketidakbecusannya sendiri: mulai dari abai memenuhi amanat UU Kekarantinaan Kesehatan karena enggan membiayai hidup warga, sampai kebiasaannya mengeruk keuntungan di atas kesulitan masyarakat luas.
Hanya satu hal berarti yang kini dapat dilakukan pemerintah: stop membohongi warga dan mulai lekas benahi diri, termasuk dengan melemparkan handuk dan lekas meminta bantuan negara lain yang sudah duluan mengatasi pandemi. Sebab, jika rezim tetap bersikeras menganggap kondisi hari ini masih dapat ditanganinya, pada akhirnya kemarahan warga lah yang akan mengoreksi mereka.
Lokataru Foundation