Lokataru Foundation – Jakarta, 15 Mei 2019. Penyidik Polres Sumba Timur telah mengabaikan 5 (lima) laporan polisi yang disampaikan oleh sejumlah masyarakat adat dari 4 (empat) kecamatan di Sumba Timur, yakni terkait dugaan tindak pidana lingkungan hidup dan penghancuran situs adat aliran kepercayaan leluhur Marapu yang dilakukan oleh PT MSM. Tidak ada langkah serius dari penyidik Polres Sumba Timur dalam menindaklanjuti laporan masyarakat adat tersebut. Selain itu pula, terdapat 41 orang masyarakat adat yang posisinya terancam dikriminalisasi oleh Camat Umalulu (Pelapor) karena mereka bersurat ke Kantor BPN setempat Sumba Timur perihal klarifikasi dugaan pengukuran sepihak yang dilakukan oleh Camat Umalulu beserta aparat desa Umalulu lainnya. Saat ini 4 (empat) orang diantaranya sudah ditetapkan sebagai Tersangka sejak bulan April 2019, termasuk 1 (satu) orang merupakan pegiat lingkungan hidup sekaligus pembela hak-hak masyarakat adat.

Laporan yang disampaikan oleh masyarakat adat antara lain dampak kerusakan hutan di Lairoka, Kecamatan Umalulu dan hutan di Palakang, Kecamatan Pahunga lodu akibat aktivitas perambahan hutan oleh PT. MSM. Kemudian ada pula laporan dari 2 (dua) komunitas adat yang berasal dari Desa Wanga, Kecamatan Umalulu tentang rusaknya situs ritual adat milik para penganut aliran kepercayaan Marapu di Yuara Ahu yang berlokasi di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, namun laporan terkait kerusakan situs ritual adat ini mangkrak selama kurang lebih 2 bulan, sementara pemidanaan terhadap 4 orang masyarakat adat tetap diproses hukum atau dilanjutkan. Adapun keempat orang tersebut dituduh melakukan tindak pidana sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu perbuatan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum sebagaimana tertuang dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP (Pasal Penghinaan). Satu lagi tambahan laporan yang mengambang kejelasan proses hukumnya sejak Juli 2018, sebagaimana disampaikan oleh beberapa orang perwakilan masyarakat adat di Desa Umalulu atas tindakan penyerangan dari pihak pekerja sub kontraktor PT MSM pada saat berkonflik dengan masyarakat setempat yang memperjuangkan lahan ulayat yang diserobot oleh PT MSM. Sampai dengan saat ini, masyarakat adat mengaku tidak pernah mendapatkan hasil perkembangan kasusnya.

Laporan-laporan masyarakat adat terkait kejahatan PT. MSM hanya sebatas di meja penyidikan, Kasat Reskrim Simon Toudengga dan Penyidik Pembantu Nathaniel Lade juga seolah tidak menanggapi serius persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat adat. Hal ini tercermin dari sikap Nathaniel Lede ketika masyarakat adat melakukan pelaporan mereka dipersulitkan dengan SOP dan kebijakan pelaporan yang terus berubah-ubah. Sama halnya dengan Nathaniel Lede, Kanit Tipidter Alex Talahatu juga mengabaikan pelaporan masyarakat adat terkait kerusakan hutan di Kecamatan Pahunga Lodu, hingga akhirnya masyarakat adat di Kecamatan Pahunga Lodu beramai-ramai mendatangi Polres Sumba Timur untuk mempertanyakan laporan.
Dalam kasus ini, penyidik Polres Sumba Timur telah mengkebiri hak masyarakat adat untuk mendapatkan keadilan di hadapan hukum dengan mengendapnya laporan-laporan masyarakat terkait kejahatan PT. MSM dan tentu akan berdampak pada terganggunya kelangsungan hidup dari masyarakat adat itu sendiri, karena ruang wilayah kelola masyarakat adat baik di hutan maupun di kawasan sabana yang biasa digunakan sebagai ladang penggembalaan ternak terus diambil alih oleh PT. MSM untuk kepentingan bisnisnya. Bercermin pada kasus kriminaslisasi yang menimpa masyarakat adat, penyidik Polres Sumba Timur dalam hal objek penetapan seseorang menjadi Tersangka seringkali tidak menempuh proses hukum dan/atau tahapan yang sesuai dengan mekanisme gelar perkara. Terlapor atau Tersangka tidak pernah diundang dalam gelar perkara. Hal tersebut berdasarkan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap Polri 12/2009).

Ketika Polres Sumba Timur memiliki jargon “Promoter” (Professional Modern Terpercaya), namun pada kenyataannya masyarakat adat telah kehilangan kepercayaan terhadap Polres Sumba Timur. Seiring dengan sikap tidak professional Kanit Sat Reskrim Simon Toudengga, Penyidik Tipidum Nathaniel Lede Dan Kanit Tipidter Alex Talahatu, Hilangnya rasa kepercayaan masyarakat adat terhadap Polres Sumba Timur tentu mencoreng nama baik Kepolisian Republik Indonesia. Harus ada evaluasi di bagi jajaran Polres Sumba Timur, khususnya para penyidik yang selama ini mengemban tanggung jawab dan tugas menerima laporan atau pengaduan masyarakat adat.

Haris Azhar, S.H., M.A.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation