Salah satu titik pembahasan utama dalam RUU Pertanahan adalah pendaftaran tanah. Menurut hemat penulis, ada beberapa pokok pikiran tentang pendaftaran tanah yang belum diakomodir terkait dengan pembahasan pendaftaran tanah.

Pertama, terkait dengan wilayah berlaku. Pendaftaran tanah di Indonesia haruslah berlaku pada seluruh tanah di Indonesia. Ego sektoral antara ATR/BPN dan KLHK haruslah dihentikan oleh RUU ini kelak. Seluruh tanah di Indonesia yang dibedakan secara fungsi ke dalam kawasan hutan dan non hutan haruslah didaftar, dicatat, dapat dijelaskan peta, jelas hubungan hukumnya terhadap tanah oleh sebuah instansi pertanahan yang kredibel.

Kedua, tujuan pendaftaran tanah bukanlah semata-mata penerbitan sertifikat hak atas tanah. Pendaftaran tanah sebenarnya sangat terkait dengan reforma agraria. Bahkan, pendaftaran tanah sistematis dan lengkap sebenarnya ditujukan untuk mendapatkan potret ketimpangan disebuah wilayah. Potret ini adalah informasi penting dalam menjalankan reforma agraria. Sehingga didapatkan potensi objek dan potensi subjek jika reforma agraria dijalankan.

Ketiga, transparansi proses dari pendaftaran, proses penerbitan hak hingga akses publik terhadap dokumen hak atas tanah. Selama ini, ATR/BPN menganggap bahwa warkah tanah dikecualikan dari informasi publik. Hal semacam ini tidak dapat dibenarkan. Pemerintah mempunyai kewajiban bahwa semua proses pemberian hak pada dasarnya adalah pelayanan publik yang terbuka. Mahkamah Agung sebelumnya juga telah memutuskan bahwa dokumen HGU adalah dokumen publik. Putusan ini belum dijalankan oleh BPN. Putusan tersebut berdasarkan pemahaman bahwa HGU dibatasi oleh luasan dan jangka waktu karena berada di atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara, sebagai derivasi dari HMN. Tentu saja bangsa Indonesia sebagai pemilik tanah mempunyai hak mengetahui proses tersebut.

Keempat, penggunaan teknologi informasi secara menyeluruh di seluruh Indonesia terkait dengan tanah. Tanah sebagai objek yang statis secara koordinat namun di atasnya terdapat bangunan, tumbuhan yang dinamis dan masyarakat yang mobile. Hal semacam ini membutuhkan keterkaitan seluruh informasi tanah dan di atasnya dapat diupdate oleh masyarakat secara mudah dan murah.

Kelima pendafaran tanah bukan semata-mata mengatur hubungan hukum warga negara, badan hukum, dengan prinsip berkesesuaian dengan rencana tata guna tanah dan tata ruang. Pembarian hak atas tanah harus memperhatikan prioritas hak atas tanah pada lapangan usaha agraria sebagai mana diatur dalam UUPA pasal 12 dan 13. Pasal ini mengingatkan kepada pemerintah bahwa pemberian HGU kepada perusahaan bukanlah prioritas dibandingkan dengan pemberian HGU kepada koperasi yang dimilik masyarakat.

Keenam Asuransi. Bayangkan jika anda membeli tanah dengan sertifikat asli, namun tanpa anda ketahui ada sertifikat lain di atasnya. Juga asli menurut BPN tanpa mau mencabut salah satunya. Bahkan lembaga ini menyarankan anda ke pengadilan dan anda kalah. Berapa banyak anda merugi karena kesalahan pemerintah. Dalam sebuah pencatatan yang terbuka dan baik, kesalahan semacam ini haruslah dikompensasi oleh asuransi yang preminya dibayarkan saat mendaftarkan tanah tanpa anda kehilangan hak menuntut ganti rugi kepada BPN atas kelalaiannya.

 

Iwan Nurdin

Ketua DN-Konsorsium Pembaruan Agraria