Program vaksinasi dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 telah berlangsung tujuh bulan sejak pertama dimulai pada 13 Januari dengan penyuntikan vaksin pertama kali ke Presiden Joko Widodo, sejumlah pejabat publik dan pesohor. Namun, hingga hari ini, implementasi program vaksinasi masih meninggalkan sejumlah permasalahan, antara lain:
Pertama, selama tujuh bulan program vaksinasi, pemberian dosis pertama baru mencapai 25 persen dan pemberian dosis kedua baru menyentuh 12,6 persen dari total target 208.265.720 orang. Angka ini terbilang kecil jika kita melihat vaksinasi dosis pertama dan kedua kepada kelompok rentan seperti lansia yang baru terealisasi masing-masing sebesar 23,1 persen dan 15,8 persen.
Kedua, terjadi ketimpangan laju vaksinasi antar daerah. Provinsi Lampung, misalnya, vaksinasi dosis pertamanya masih di bawah 10 persen. Bahkan, 19 provinsi lain di atas Lampung pun, tercatat belum mencapai 20 persen. Bandingkan dengan Kepulauan Riau dan Bali yang telah mencapai lebih dari 50 persen. Ketimpangan terlihat lebih jelas pada DKI Jakarta yang bahkan telah mencapai 103,9 persen.
Vaksinasi dosis kedua lebih menggambarkan ketimpangan tersebut. Tercatat 16 provinsi masih belum menyentuh angka 10 persen. Tetapi DKI Jakarta, Bali dan Kepulauan Riau masing-masing sudah di angka 45,06 persen, 34,27 persen, 20,98 persen.
Ketiga, terhambatnya rangkaian vaksinasi ini antara lain disebabkan oleh habisnya stok vaksin. Dalam pemantauan kami, kekosongan vaksin terdapat di sejumlah daerah seperti Jawa Barat, Makassar, Wonogiri, Surabaya, Cilacap, Sangihe, Yogyakarta, Tangerang, dan Sragen. Kekosongan stok vaksin disebabkan oleh terlambatnya distribusi pusat ke daerah hingga kurangnya dosis dari jumlah kebutuhan.
Melihat rangkaian permasalahan di atas, rencana merampungkan vaksinasi nasional pada akhir tahun ini sepertinya hanya angan-angan. Pasalnya, target satu juta vaksin per hari yang dicanangkan Presiden pada bulan Juli 2021 hanya terealisasi selama dua hari, tepatnya tanggal 19 dan 20 Juli, selebihnya menunjukan inkonsistensi.
Khayalan tersebut kembali berlanjut ketika Joko Widodo menargetkan dua juta vaksinasi pada bulan Agustus. Kenyataannya, baru pada tanggal 13 Agustus 2021 kemarin hal tersebut bisa tercapai.
Kondisi ini menunjukan inkompetensi Pemerintah dalam menjalankan program vaksinasi yang sudah setengah tahun lebih berjalan. Tak heran, sudah sejak awal Lokataru Foundation mencurigai bahwa program vaksinasi sebenarnya dimanfaatkan Pemerintah untuk lari dari tanggung jawab penanganan wabah yang sebenarnya.
Sejak pandemi tiba di Indonesia hingga kebijakan PPKM level 1-4 diterapkan, Pemerintah tetap kedodoran dalam menggenjot 3T, tidak sungguh-sungguh melakukan karantina wilayah sesuai amanat UU Karantina Kesehatan bahkan gagal untuk sekadar membatasi penerbangan luar negeri yang masuk ke Indonesia.
Sejak vaksinasi massal dimulai. para ahli sudah mewanti-wanti Pemerintah untuk tidak gegabah menjadikan vaksin sebagai senjata mutakhir mengusir wabah. Terbukti, ketika Pemerintah memfokuskan mitigasi pandemi hanya pada vaksinasi, alih-alih gelombang pandemi berangsur-angsur reda, Indonesia malah bertengger sebagai negara ASEAN pertama yang meraih angka kematian 100.000 per 5 Agustus 2021.
Persis seperti pepatah; sudah jatuh tertimpa tangga. Realisasi program vaksinasi jauh dari kata berhasil plus gelombang kematian akibat virus semakin tidak terkendali.
Permasalahan program vaksinasi harus segera dibenahi, antara lain dengan memastikan pasokan vaksin cukup bagi kebutuhan nasional, memperbaiki alur distribusi sampai di daerah, melakukan verifikasi dan validasi data penerima vaksin khususnya bagi kelompok rentan, hingga memperkuat kerja sama sampai tingkat RT/RW dalam melaksanakan proses vaksinasi.
Hal tersebut juga dilakukan sambil tetap memaksimalkan 3T, memperbaiki pendataan sebagai acuan kebijakan di kemudian hari hingga merombak model mitigasi dengan memperkuat koordinasi Pusat dan Daerah.
Bila selama satu tahun lebih pandemi berlangsung namun 3T masih juga terseok-seok, tak bosan-bosan kami mengingatkan para otoritas penanganan pandemi untuk sesegera mungkin mengundurkan diri dan segera menyerahkan mitigasi bencana kepada ahli kesehatan masyarakat atau epidemiolog. Tentu pengunduran massal ini harus disusul oleh kesadaran pemerintah terhadap realita sederhana: tidak akan ada pemulihan ekonomi di suatu negara yang penduduknya masih dikepung pandemi seperti sekarang. Prioritaskan keselamatan publik dahulu!