Perbaikan Peraturan Presiden Reforma Agraria Harus Kembali Pada Konstitusi dan UUPA 1960
Jakarta, 22 Desember 2022
Dari masa ke masa agenda reforma agraria di Indonesia disempitkan dan dibelokkan maknanya. Petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan lainnya semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan bangsa yang berdaulat atas sumber-sumber agrarianya.
Pada tanggal 1 dan 2 November 2022 lalu, Pemerintah melakukan diskusi publik membahas menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (RanPerpres RA). Diskusi publik yang dilaksanakan Kemenko Perekonomian berlangsung tanpa ada peran gerakan RA, Masyarakat Adat, perempuan, kelompok rentan dan gerakan lingkungan.
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) konsisten mendorong kebijakan RA sebagaimana yang diamanatkan Konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA), yaitu merombak struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan sumber-sumber agraria.
Berikut adalah pernyataan sikap KNPA terkait proses dan substansi RanPerpres RA:
Pertama, agenda reforma agraria bangsa diselewengkan tujuan-tujuan besarnya melalui pembajakan proses dan substansi elit. Pemerintah kesekian kalinya mengabaikan tuntutan proses perumusan kebijakan RA yang memadai, transparan, dan berhati-hati/seksama sesuai dasar-dasar awal urgensi perubahan.
Sepanjang tahun 2019-2022, proses revisi Perpres RA berlangsung sangat tertutup. Perumusan dan pembahasan Ranperpres RA tidak melibatkan secara aktif dan bermakna para pakar hukum agraria dan organisasi masyarakat sipil. Hal ini adalah pengabaian terhadap tuntutan dan urgensi revisi Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria yang dilayangkan KNPA kepada Presiden RI sejak tahun 2019.
Kedua, RanPerpres RA melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi dan mengkhianati UUPA 1960 dan mengarahkan agenda RA menjadi manifestasi neo-domein verklaring. Alih-alih mengurai ketimpangan dan konflik agraria, RanpPerpes RA justru akan semakin melanggengkan dan mengakumulasi krisis agraria.
RanPerpres RA tidak dibuat berdasar konstitusi dan UUPA, melainkan mencatut UU Cipta Kerja sebagai konsideran. Maka RanPerpres RA akan mengikuti logika hukum UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional berdasar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020.
RanPerpres RA yang dimaksudkan untuk menggantikan Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres RA) dan Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Perpres 88), tidak ubahnya kebijakan pro investasi yang dipandu kepentingan pasar. Pelaksanaan RA akan dimanipulasi dalam tata cara pengadaan tanah a la Bank Tanah, skema hak pengelolaan (HPL) dan hak berjangka waktu menjadi tawaran penyelesaian, percetakan sawah baru (food estate) menjadi bagian TORA. Aturan kawasan hutan pun akan mengikuti aturan UU Cipta Kerja, terkait pemutihan keterlanjuran dan klaim sepihak kawasan hutan oleh KLHK dan BUMN Kehutanan (Perhutani/Inhutani).
Ketiga, RanPerpres RA menyesatkan tujuan fundamental agenda Reforma Agraria. KNPA menuntut revisi Perpres RA untuk memperbaiki dan memperkuat pelaksanaan RA. Alih-alih dilengkapi dengan kelembagaan, tata cara bekerja dan terobosan hukum, RanPerpres RA menghilangkan 7 (tujuh) tujuan RA sebagai bagian terpenting dan fundamental dalam Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
RanPerpres RA semakin disempitkan sekadar bagi-bagi sertifikat tanah di wilayah yang non-konflik, non-ketimpangan, dan tanpa pemulihan hak. RA ditafsirkan dan diselewengkan seperti yang sudah-sudah.
Keempat, TORA yang bersumber dari Badan Bank Tanah adalah bentuk penyimpangan RA oleh UU Cipta Kerja. Tanah untuk memenuhi keadilan sosial rakyat, dalam RanPerpres RA diarahkan untuk dikelola dalam proses liberalisasi pertanahan oleh Bank Tanah.
RanPerpres RA mengikuti logika sesat UU Cipta Kerja, yaitu menyamakan proses RA sebagai bagian dari proses kemudahan pengadaan tanah untuk investor/badan usaha besar yang membutuhkan tanah. Sehingga RA semakin jauh dari tujuan utamanya sebagaimana diatur di konstitusi dan UUPA.
TORA yang berasal dari Bank Tanah memiliki skema yang berbeda, yaitu melalui model Hak Pengelolaan (HPL) yang diciptakan pada UU Cipta Kerja. Petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan lainnya dalam sistem Bank Tanah bersaing dengan investor dan badan usaha besar untuk memperoleh tanah.
Kelima, RanPerpres RA tidak melakukan perbaikan dan penguatan RA. Revisi mendasar Perpres RA seharusnya yaitu mengenai kelembagaan pelaksanaan RA yang harus dipimpin oleh Presiden, sehingga masalah agraria yang kronis dan egosektoral dapat terurai.
RanPerpres RA justru melanggengkan kemacetan pelaksanaan RA, di mana kepemimpinan lembaga pelaksanaan RA hanyalah setingkat Menteri/Menteri Koordinator. Dualisme sistem administrasi pertanahan di Indonesia, yaitu antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai sumber masalah agraria akan terus berlangsung. Sehingga pelaksanaan RA masih akan ego sektoral dan nihil terobosan dalam mencapai keadilan sosial.
Keenam, RanPerpres RA tidak sungguh-sungguh menuntaskan konflik agraria struktural antara masyarakat dengan perusahaan BUMN. Opsi penyelesaian konflik agraria yang disebabkan oleh perusahaan BUMN dalam RanPerpres RA, masih seputar hak atas tanah yang memiliki jangka waktu (bersifat sementara) dan/atau diserahkan sesuai kesepakatan para pihak serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan lainnya akan dilanggar terus hak konstitusionalnya dan tidak akan berdaulat atas tanahnya.
Alasan Kementerian ATR/BPN, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan terkait kesulitan penghapusbukuan aset negara dalam PT Perkebunan Negara (PTPN), akan terus berlanjut untuk menutupi kebobrokan bisnis negara yang banyak menimbulkan konflik agraria sturktural dan kerugian keuangan negara. Padahal penyelesaian konflik agraria akibat PTPN tidak hanya melalui penghapusbukuan aset negara, melainkan juga dapat melakukan upaya koreksi terhadap kesalahan sejarah perampasan tanah rakyat untuk konsesi perkebunan skala luas.
Selain itu RA atas praktik Negaraisasi Hutan melalui monopoli Perhutani, KLHK dan bisnis kehutanan masih jauh dari itikad baik menjalankan RA. Penggabungan revisi dengan Perpres 88/2017 tidak mengubah apapun, kecuali ingin melanggengkan asas domein verklaring atas nama kawasan hutan.
Kita tahu bahwa KLHK memiliki kewajiban pelaksanaan RA seluas 4,1 juta hektar, sayangnya selama 8 tahun terakhir Gerakan RA seperti menemui jalan buntu – terus menerus dipaksa dan diberi opsi perhutanan sosial. Tidaklah mengherankan kita menghasilkan capaian buruk RA terkait konflik agrarian kehutanan.
Tidak ada prioritas desa-desa, pertanian dan perkebunan rakyat untuk segera dikeluarkan dari klaim Negara atas hutan. Bagaimana mungkin ladang-ladang pangan lumbung nasional dan desa-desa definitif masih terus diklaim sebagai Kawasan Hutan? Sama halnya dengan konflik agrarian PTPN, Negaraisasi hutan di masa lalu yang “terlanjur” memasukan kampung-kampung dan pertanian rakyat memerlukan terobosan hukum sebagai usaha negara untuk mengkoreksi kesalahan masa lalunya.
Ketujuh, RanPerpres melanjutkan kesalahan Perpres 86/2018, yang menjadikan kegiatan sertifikasi tanah sebagai RA. Sertifikasi tanah biasa (non-reform) adalah kegiatan administrasi pertanahan bagi masyarakat yang bertanah dan belum diadministrasikan hak atas tanahnya oleh BPN. Jadi sertifikasi tanha bukan lah upaya koreksi atas struktur agraria yang timpang bagi orang tak bertanah dan berkonflik (petani gurem, buruh tani, rakyat miskin tak bertanah), bukan pula pemulihan hak korban perampasan tanah yang dimaksudkan oleh agenda RA. Legalisasi asset yang kemudian diterjemahkan menjadi kegiatan PTSL tidak bisa serta merta disebut RA. Penguatan hak (pensertifikatan) hanya tahap akhir atau pelengkap pasca penataan-ulang (reform), redistribusi tanah dan penyelesaian konflik.
Reforma agraria yang disempitkan menjadi kegiatan pensertifikatan tanah adalah kritik terbesar Gerakan RA dan para pakar hukum agraria selama ini. Inilah porsi terbesar klaim-klaim capaian pemerintah atas nama RA. Sayangnya justru RanPerpres melanjutkan kesalahan lama selama 8 (delapan) tahun terakhir, dimana capaian 9 juta hektar RA dirancang dan dicampur-adukan dengan kegiatan administrasi pertanahan biasa. Negara Indonesia harus belajar ke negara lain dan mengevaluasi diri untuk bisa membedakan program pensertifikatan tanah dengan Reforma Agraria.
Pendekatan asset reform dan access reform yang ultraliberal kembali menjadi formula RanPerpres. Formula ini telah mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang menganut liberalisasi pasar tanah. Negara yang hanya menempatkan tanah sebagai barang komoditas/ekonomi (asset) saja. Inilah paradigma sesat yang tidak beranjak yang tercermin dalam RanPerpres. Sejatinya tanah adalah kekuatan (modal) sosial, ekonomi, budaya, religi rakyat Indonesia, bahkan tanah serta sumber-sumber agraria lain adalah kekuatan politik atas kedaulatan bangsa yang tidak boleh dikuasasi oleh modal dan badan usaha asing sebagaimana cita-cita UUPA.
Ada pula konsekuensi kebijakan dan praktiknya di lapangan, ketika formula ini tetap dipertahankan. Jika dulu di pemerintahan SBY formulanya; “RA = asset reform plus access reform”, justru di masa Jokowi mundur selangkah lagi, menjadi “RA = asset reform dan access reform”, yang berkosekuensi pula pada praktik di lapangan, seolah tanah (sertifikat) saja cukup, sementara penataan ulang produksi dan pengembangan ekonominya pasca land reform dijalankan tidak menjadi paket utuh RA. Seharusnya RA adalah Landreform yang diperkuat, sebab di dalam RA ada penguatan sentra-sentra ekonomi dan produksi rakyat.
Kedelapan, tidak ada subjek prioritas RA untuk memastikan pelaksanaan RA betul-betul dinikmati rakyat yang berhak (tepat sasaran), bebas dari para penumpang gelap (free riders) dan mafia tanah. Dari sisi subjek, Ranperpres RA sudah mengakomodir tuntutan untuk menghapus TNI, Polri dan PNS sebagai subjek RA. Akan tetapi lagi-lagi tidak ada penekanan tentang pentingnya subjek prioritas agar petani kecil, buruh tani, landless (orang miskin tak bertanah), nelayan yang betul-betul mendapat dampak positif dari RA. Bahkan usulan masyarakat adat dan perempuan tetap tidak dimasukan sebagai subyek prioritas.
Subjek RA “orang-perseorangan” pada RanPerpres RA tidak detail menyebut kriteria yang adil secara social, ekonomi dan gender, termasuk penekanan aspek masyarakat yang sudah menguasai dan menggarap tanah dengan itikad baik. Kewenangan Menko Perekonomian menentukan jenis pekerjaan lain yang dapat menjadi subjek RA, merupakan celah konflik kepentingan dan dapat dimanfaatkan para penumpang gelap (free riders) dan mafia tanah untuk dimasukkan menjadi subjek RA – kasus-kasus penumpang gelap marak terjadi di lapangan, bahkan difasilitasi sendiri oleh Pemerintah dan Pemda.
Atas dasar 8 (delapan) sikap dan pandangan di atas:
Pertama, KNPA mendesak Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RanPerpres Percepatan RA yang inkonstitusional. Perbaikan Perpres RA harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional.
Kedua, Proses perumusan RanPerpres harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan Perpres RA yang selama ini dituntut dengan memastikan pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif, setara, dan substantial. Sekaligus menjamin transparansi proses perumusan yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian BUMN, Kemendagri, Kementerian Desa dan K/L lainnya, termasuk POLRI dan TNI.
Mari perbaiki tata cara kita berbangsa dan bernegara, sebab rakyat dan gerakan masyarakat sipil bukan penerima manfaat dari hasil perumusan kebijakan, tetapi elemen penting bangsa yang harus terwakili secara setara dan bermakna.
Orientasi perbaikan perpres adalah pelurusan kebijakan dan praktik RA yang harus dikembalikan pada tujuan utamanya sesuai mandat yang diemban oleh Perpres RA sendiri, yakni memperbaiki ketimpangan penguasaan tanah, menyelesaikan konflik agraria di seluruh sektor (perkebunan BUMN-PTPN/swasta, kehutanan BUMN-Perhutani/swasta, dsb), memulihkan hak masyarakat yang terampas, serta memastikan RA berdampak pada kesejahteraan masyarakat agraris dan rakyat miskin tak bertanah. Alih-alih mengembalikan orientasi hukum agraria yang sejalan dengan Konstitusi dan UUPA 1960 dalam menjalankan RA, justru UU Cipta Kerja masuk menjadi pertimbangan RanPerpres. Kemenko dan KSP lupa, bahwa hukum agraria nasional kita adalah UUPA, bukan UU Cipta Kerja yang melanggar Konstitusi.
Demikian Pernyataan Sikap dan Pandangan kami untuk menjadi perhatian para pihak. Terima kasih.
Hormat kami
Komite Nasional Pembaruan Agraria
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Solidaritas Perempuan (SP)
Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
Aliansi petani Indonesia (API)
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
Sajogyo Institute (Sains)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Yayasan PUSAKA
Bina Desa
Lokataru Foundation
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
Sawit Watch (SW)
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Perkumpulan HuMa Indonesia
Tranformasi untuk Keadilan Indonesia (Tuk-Indonesia)