Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, sebagai atasan langsung dari Direktur Utama Badan Pengelola Jaminan Sosial (BJPS) Kesehatan, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Hanif Dhakiri, patut segera menyelesaikan sengketa dan tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan PT Freeport Indonesia, sebagai perusahaan pelaksana dari PT Freeport Mc Moran, yang berkedudukan di Amerika Serikat.
Persoalan Ketenagakerjaan yang terjadi makin menunjukkan sisi buruknya dan hal ini memprihatinkan. Persoalan ini sudah berlangsung selama 1,6 bulan, sejak Februari 2017. Kala itu, PTFI memberlakukan Furlough (Merumahkan) kepada 700 orang karyawan tanpa ukuran yang jelas, dan ternyata hal itu hanya akal-akalan untuk mengusir paksa aktivis serikat pekerja yang kritis terhadap manajemen perusahaan. Hal ini kemudian diikuti dengan dialog antar serikat dengan perusahaan namun yang terjadi hanya pernyataan sepihak perusahaan bahwa kebijakan diambil karena perusahaan merugi akibat pola IUPK. Nyatanya hingga hari ini tidak satu pun kerugian tersebut terbukti. Perusahaan masih untung bergelimang dollar. Harga saham di bursa efek New York stabil. Klaim Perusahaan bahwa kebijakan ini tidak perlu dinegosiasikan merupakan alasan yang sesat. Perjanjian Kerja Bersama, menerangkan bahwa kebijakan strategis perusahaan yang terkait dengan karyawan harus didiskusikan kepada karyawan atau perwakilannya, dalam hal ini serikat pekerja.
Pilihan mogok oleh 8000an karyawan, yang kemudian ditempuh sebagai bentuk solidaritas terhadap kesemena-menaan perusahaan, adalah cara yang dijamin oleh UU Serikat Pekerja, dan oleh karenanya konstitusional. Perusahaan berdalih bahwa mogok tidak sah, tetapi Perusahaan lupa dan mengabaikan surat pemberitahuan mogok dari Serikat. Kalah berkilah, Perusahaan kemudian menuding mogok karyawan sebagai mangkir untuk menghadiri sidang kriminalisasi terhadap Sudiro, Ketua PUK PT Freeport Indonesia, di PN Timika. Perusahaan, sebagaimana klaim Salah satu Vice President Perusahaan, Didi Ardiyanto dan Juru Bicara Riza Pratama, sudah melakukan pemanggilan berkali-kali. Hal ini aneh, diajak dialog, Perusahaan bicara sepihak. Diberitahu Mogok, surat tidak diindahkan. Perusahaan justru memanggil karyawan bekerja. Belum selesai, Perusahaan kemudian melakukan pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja) diikuti dengan rentetan tindakan kejam, berupa, pemutusan jaminan kesehatan BJPS para pekerja, penutupan rekening bank karyawan.
Atas brutalitas menejeman PTFI, sepatutnya negara hadir, sebagaimana janji Pemerintah Republik Indonesia, lewat Presiden Joko Widodo. Kepatutan tersebut adalah sebuah keharusan hukum. Pada Juni 2017 Menakertrans Hanif Dhakiri membentuk sebuah Tim yang dipimpin oleh Sdri. Hayani, Dirjen PHI (Penyelesaian Hubungan Industrial). Sayangnya tim ini tidak pernah memeriksa, bertemu atau bahkan mencari fakta dari para karyawan, baik yang mogok atau pun yang mengalami pemaksaan furlough. Sampai saat ini tidak diketahui laporan sementara atau laporan akhir dari Tim ini. Kami khawatir tim ini hanya siluman belaka.
Selain masalah di atas, yang cukup memprihatinkan adalah soal pemutusan keanggotaan BJPS karyawan. UU BPJS jelas menyebutkan bahwa karyawan tetap berhak mendapatkan layanan 6 bulan Paska PHK. Sayangnya, PHK masih dalam status sengketa. PHK belum final. Untuk itu, pemutusan keanggotaan BPJS adalah sebuah aksi kriminal yang dilakukan secara bersama-sama antara BPJS Kesehatan dengan PT Freeport Indonesia. Berbagai bukti dan korban berjatuhan. Atas kasus ini, Kuasa Hukum Karyawan, Lokataru, Kantor Hukum dan HAM, sedang melakukan dua gugatan, pertama Class Action atas nama para karyawan, dan kedua, Gugatan atas salah seorang korban yang meninggal dunia karena ketiadaan akses BPJS tersebut, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tindak pidana lainnya adalah penutupan rekening Bank para karyawan. Tindakan ini jelas tidak ada satu pun karyawan yang mengetahui dan menyetujui penutupan rekening tersebut. Dalam rekening karyawan banyak yang masih terdapat uang atau tabungannya. Penutupan ini adalah bentuk kriminal terorganisir.
Untuk itu, kehadiran 200 orang lebih karyawan PTFI di Jakarta, mewakili ribuan lainnya yang tersebar di berbagai kota, merupakan upaya mencari keadilan, penegakan hukum dan pemenuhan hak asasi mereka. Hal ini dilakukan mengingat Dinas Ketenagakerjaan Timika cenderung diam tak berdaya menghadapi korporasi internasional seperti Freeport Indonesia (Freeport McMoran), menagih kejelasan sikap Menakertrans Hanif Dhakiri, yang sudah membentuk tim tapi tidak jelas kerjanya, serta rangkaian tindakan lainnya. Para karyawan akan berupaya menagih janji Presiden Joko Widodo yang menjadi pimpinan atas segala pimpinan yang terlibat secara terencana, seperti BPJS, dalam pelanggaran Hukum dan HAM terhadap karyawan. Para karyawan juga akan menghadiri sidang pembuktian di PN Jakarta Pusat, melaporkan tindakan pidana ke Mabes Polri, pelaporan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas kriminalitas perbankan.
Demikian,
Jakarta, 19 Agustus 2018
Haris Azhar, Lokataru Foundation–Tri Puspital, Ketua Serikat Pekerja PUK PT FIāMarten Mote, Koordinator Aksi Karyawan di Jakarta