LOKATARU FOUNDATION NEWS UPDATE

SAATNYA MENGATUR PROFESSIONAL ENABLER DALAM AGENDA REFORMASI HUKUM INDONESIA

Pada hari Selasa, 23 Agustus 2022, Lokataru Foundation bekerjasama dengan Kelompok Kerja Anti Korupsi (ACWG) C20 dan KPK telah dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Pengarusutamaan Prinsip Antikorupsi Pencucian Uang dan Pemulihan Aset bagi Profesi Hukum” di Hotel Ashley Tanah Abang. Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari advokat dan lembaga-lembaga yang diundang untuk menghadiri acara ini.

Materi FGD kali ini dimoderatori oleh Bellinda dari Kemitraan dan Wawan Suyatmiko dari TII. Sesi pertama dari FGD diisi oleh Ariawan Agustiartono dari KPK, Fitriadi dari PPATK, Putri Wijayanti sebagai perwakilan dari UNODC. Sesi kedua dari FGD diisi oleh Paku Utama selaku perwakilan dari Wikrama Utama, Nurkholis Hidayat selaku perwakilan dari Lokataru Law & Human Right Office, Adam Akhyat perwakilan dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), dan Dadang Trisasongko selaku Chair ACWG C20.

Pembahasan dalam FGD pertama dengan topik “Meninjau Kembali Kondisi Nasional Dan Internasional Terkait Profesi Hukum Sebagai Professional Enabler Pencucian Uang Dan Korupsi”, menelaah mengenai negara-negara dengan Tax Haven dan special purpose vehicle, serta beberapa kasus di Indonesia beserta jejak uangnya. Selain itu juga terdapat penjelasan mengenai TPPU berisiko tinggi berserta profesinya, modus-modus pencucian uang, kewajiban pelapor, prevention measure, potensi professional enabler dalam melakukan disrupsi, sebagaimana pencegahannya diregulasi dalam FATF recommendation Designated non-financial business and professions, dan chapter II UNCAC: Article 14. Measure to prevent money laundering.

FGD kedua membahas mengenai penelitian mengenai 5 perusahaan yang menggunakan skema pencucian uang di Indonesia, pernyataan IBA mengenai client secrecy dan TPPU, kurangnya kesinambungan regulasi untuk dalam community legal practices, kebijakan di kantor-kantor terkait pencegahan TPPU, positioning Indonesia sebagai negara G20 dan tekanan FATF, serta ada perampasan asset dan BO, jaminan untuk melakukan transaksi bahwa tidak terkait dengan uang hasil kejahatan,

Beberapa poin yang didapat dalam diskusi, yaitu sebagian besar advokat di Indonesia merupakan litigator dan advisor. Hanya ada sedikit advokat yang merupakan non-litigator. Advokat non-litigatorlah yang mungkin memiliki kemampuan untuk membuat structure. Apabila pengacara litigator menjumpai kasus TPPU, umumnya hal yang dilakukan adalah mengundurkan diri sebagai upaya maksimal. Perlu di catat juga, bahwa pihak yang membuat PT di Tax Haven adalah advokat lokal, dan peran advokat Indonesia lebih ke membantu transaksi perusahaan di negara Tax Haven dengan di Indonesia. Sebagai pihak pelapor, terdapat 2 kewajiban advokat, yaitu, memenuhi pelaporan dan mengenai klien. Apabila terdapat PEP, perlakuan untuk mengenali klien menggunakan enhance due diligence. Semisal klien adalah tokoh politik, maka untuk mitigasi ya melakukan enhance due dilliegence, jika orang biasa maka dilakukan simplified due dilligience.

Indonesia tidak memiliki single bar, dan dalam penilaian country risk hal tersebut banyak dikeluhkan dan menjadi tekanan terdiri di G20 anticorruption. Kode etik advokat sendiri sudah dikukuhkan dalam UU advokat, sehingga ada kendala yuridis dan harus di bahas lagi. PP juga dinilai tidak memiliki dasar karena tidak menuliskan secara eksplisit, namun hanya di bagian penjelasan mengenai advokat sendiri.

Beberapa masukan yang didapatkan dari FGD yaitu pertama, melakukan upscaling PP menjadi UU, karena kata advokat sendiri di dalamnya hanya ada di bagian penjelasan, bukan batang tubuh. Kedua, sebagai perbandingan IBA merupakan self-regulating bodies, dimana ia memberikan kejelasan bagi dirinya sendiri dan diharapkan peradi membuat beberapa guide baik practical maupun lainnya. Ketiga, beberapa tempat sudah memberikan surat pernyataan bahwa klien tidak melakukan TPPU dan melakukan pemeriksaan identitas, yang nantinya dapat diimplementasikan ke firma-firma. Keempat, perlunya diskusi lebih lanjut khususnya antara PERADI dengan PPATK untuk menyamakan persepsi.