Jakarta, 24 November 2024 — Lokataru Foundation telah melakukan pemantauan terhadap dugaan pelanggaran dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di sejumlah provinsi, termasuk enam provinsi di Tanah Papua, serta Banten, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan. Pemantauan di Papua, yang mencakup 43 kota dan kabupaten, dilakukan mengingat tingginya risiko pelanggaran dan ancaman keamanan, terutama karena daerah tersebut baru saja menggelar Pilkada setelah pemekaran wilayah. Dari hasil pemantauan ini, Lokataru Foundation menemukan dan menerima berbagai laporan dugaan pelanggaran yang kemudian diverifikasi serta ditelusuri lebih lanjut.

Pemantauan dilakukan melalui berbagai metode, termasuk monitoring media lokal, media nasional, media sosial, serta pengumpulan laporan melalui posko aduan masyarakat. Data yang diperoleh kemudian diverifikasi dan dianalisis secara kualitatif menggunakan indikator pelanggaran Pilkada yang disusun oleh Lokataru Foundation, guna memastikan validitas temuan. Pemantauan ini dimulai sejak awal November hingga 24 November 2024, sementara dugaan pelanggaran yang teridentifikasi mencakup periode sejak penetapan pasangan calon (Paslon) untuk posisi Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, serta Bupati dan Wakil Bupati.

Dari temuan dan aduan yang diterima, setidaknya ada 25 dugaan pelanggaran yang telah diverifikasi dan ditelusuri lebih lanjut, mencakup pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik, serta pelanggaran hukum lain. Bentuk-bentuk pelanggaran yang ditemukan meliputi, antara lain, pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan perangkat kekuasaan lokal lainnya, penyalahgunaan kewenangan dan sumber daya negara, intervensi, pelanggaran administratif dalam pemberkasan, serta pengerahan aparat TNI-Polri. Dugaan pelanggaran ini terjadi baik pada tingkat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur maupun pada Pemilihan Walikota/Bupati dan Wakil Walikota/Bupati.

Selain itu, kami juga mengidentifikasi sejumlah aktor yang diduga terlibat dalam pelanggaran Pilkada ini, termasuk Penjabat Sementara (Pjs) Walikota, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Provinsi, Kota, dan Kabupaten. Bawaslu Provinsi, Kota, dan Kabupaten. Beberapa kepala distrik, Panitia Pemilihan Distrik (PPD), dan perangkat kekuasaan lokal lainnya juga terindikasi terlibat dalam pelanggaran tersebut. Selain itu, dugaan pelanggaran juga melibatkan pasangan calon (Paslon) yang berpartisipasi dalam Pilkada ini.

Adapun temuan awal kami terkait dugaan pelanggaran Pilkada di Tanah Papua adalah sebagai berikut:

Pertama, terdapat dugaan pelanggaran netralitas ASN dan pemegang kekuasaan di tingkat lokal, baik di tingkat kota/kabupaten hingga distrik.  PJs Wali Kota Jayapura, Christian Sohilait, diduga mengarahkan pejabat distrik hingga kampung untuk mendukung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, Mathius Fakhiri dan Aryoko Rumaropen, dari Koalisi Indonesia Maju Plus. Sohilait juga diduga memberi panduan untuk mengamankan suara melalui perangkat distrik hingga kampung.

Selain itu, menurut data Bawaslu Papua Selatan per 19 Oktober 2024, terdapat enam laporan pelanggaran netralitas ASN selama kampanye Pilkada di Provinsi Papua Selatan: satu di Merauke, dua di Asmat, dan tiga di Boven Digoel. Di Merauke, Kepala Distrik Muting diduga menghadiri kampanye salah satu calon, sementara di Asmat terdapat indikasi anggota Panitia Pemilihan Distrik (PPD) menjadi bagian tim pemenangan calon dan kasus perusakan alat peraga kampanye. Tiga laporan di Boven Digoel juga terkait netralitas ASN.

Kemudian, menurut data Bawaslu Kabupaten Nabire, terdapat dugaan keterlibatan ASN Pemerintah Kabupaten Nabire yang mendukung salah satu pasangan calon pada Pilkada di Nabire. Dugaan ini mencuat setelah beredar video yang menunjukkan indikasi ketidaknetralan ASN yang teridentifikasi sebagai Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Nabire. Bawaslu Nabire telah mengirimkan undangan untuk klarifikasi kepada ASN yang terduga terlibat.

Selain ketidaknetralan ASN, terdapat dukungan tidak langsung dari pemerintah pusat dalam Pilkada Papua Tengah dan Mimika, di mana sejumlah pejabat dan elit politik terlibat dalam kampanye. Salah satu bentuk dukungan ini terlihat dalam acara Nation Building Conference (NBC) 2024 di Jakarta pada 8 November 2024, yang menghadirkan Calon Bupati Mimika, Johannes Rettob, dan Calon Gubernur Papua Tengah, Natalis Tabuni, sebagai pembicara utama di tengah masa kampanye. Acara tersebut dihadiri tokoh-tokoh pemerintah pusat dan diselenggarakan oleh Relawan Pemimpin Indonesia (RAPI), yang terafiliasi dengan tim kampanye Prabowo-Gibran.

Kedua, terdapat dugaan penyalahgunaan kewenangan dan sumber daya negara dalam Pilkada Kabupaten Fakfak 2024. Paslon Bupati dan Wakil Bupati Fakfak nomor urut 1, Untung Tamsil dan Yohana Dina Hindom, diduga melakukan politisasi program dan dana publik. Dugaan pelanggaran ini mencakup: pengangkatan tenaga honorer di DPRD dan RSUD Fakfak, apel ASN yang dipimpin Untung Tamsil, peluncuran pemekaran kampung, pengukuhan kepala kampung dan anggota Baperkam, pemberian dana hibah kepada Lembaga Masyarakat Adat, serta bantuan modal usaha kepada 337 UMKM, yang semuanya berlangsung pada September 2024.

Kemudian, di Pilkada Provinsi Papua Barat Daya, calon Gubernur Abdul Faris Umlati dengan nomor urut 1 dicoret dari pencalonan karena pelanggaran administratif. Keputusan ini diambil sebagai tindak lanjut atas temuan Bawaslu Papua Barat Daya. Pelanggaran yang dilakukan Abdul Faris Umlati terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan dan sumber daya negara dalam jabatannya sebagai Bupati Raja Ampat, yaitu dengan melakukan pergantian pejabat selama masa pencalonannya dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Daya.

Sementara itu, dalam Pilkada Wali Kota Jayapura, Calon Wali Kota Nomor Urut 2, Jhony Banua Rouw, diduga menyalahgunakan kewenangan dan sumber daya negara. Dugaan pelanggaran meliputi politik uang dan pemanfaatan program pemerintah dari Kementerian PUPR untuk kepentingan kampanye. JBR diduga melakukan renovasi rumah warga dengan memanfaatkan posisinya sebagai anggota DPR Papua (DPRP), yang dilakukan menjelang Pilkada di Jayapura.

Ketiga, terdapat dugaan pelanggaran intervensi yang dilakukan KPU Pusat terhadap Bawaslu Kabupaten Fakfak. Intervensi ini terjadi ketika KPU Pusat menonaktifkan lima komisioner KPU Fakfak setelah mereka menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Kabupaten Fakfak untuk membatalkan pencalonan Paslon Bupati dan Wakil Bupati Fakfak nomor urut 1, Untung Tamsil dan Yohana Dina Hindom, yang diduga melakukan pelanggaran. Temuan lainnya menunjukkan bahwa Bawaslu di tingkat Provinsi, Kota, dan Kabupaten cenderung pasif dalam menindaklanjuti berbagai aduan yang masuk.

Keempat, terdapat dugaan pelanggaran administratif dalam proses pemberkasan pencalonan pada Pilkada Papua. Calon Gubernur Mathius Derek Fakhiri, yang berpasangan dengan calon Wakil Gubernur Aryoko Rumaropen dengan nomor urut 2, diduga masih berstatus anggota Polri aktif ketika ditetapkan sebagai calon Gubernur Provinsi Papua oleh KPU pada 22 September 2024. Berdasarkan penelusuran kami, sejumlah bukti menunjukkan bahwa mantan Kapolda Papua ini masih tercatat sebagai salah satu Analis Kebijakan Utama Bidang Brigade Mobil Polri pada tahun 2024.

Kelima, kami mempertanyakan pengerahan personel TNI-Polri untuk mengamankan Pilkada di Tanah Papua. Menjelang tahapan pemungutan suara, ribuan personel TNI-Polri dikirim ke berbagai titik di Papua dengan dalih untuk menjaga keamanan. Kami menganggap hal ini perlu dipertanyakan, mengingat kondisi psikologis dan situasi yang sensitif di Tanah Papua, yang berpotensi menimbulkan ketegangan, dan konflik lainnya.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, terdapat pelanggaran yang melibatkan ketidaknetralan penyelenggara, ASN, perangkat kekuasaan lokal, serta intervensi dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat terlihat memberikan dukungan, baik secara langsung maupun melalui pengaruhnya, kepada pasangan calon tertentu. Pasangan calon petahana atau yang didukung oleh pemerintah pusat memiliki peluang besar untuk melakukan kecurangan dalam Pilkada. Dukungan dari pejabat pusat dan kekuasaan lokal memberi mereka ruang untuk memanipulasi proses pemilu, baik melalui penggunaan sumber daya negara, program pemerintah, maupun pengaruh politik lainnya. Selain itu, pengerahan kekuatan aparat TNI-Polri yang berlebihan berpotensi menciptakan intimidasi terhadap pemilih dan calon lainnya.

 

Narahubung:

  1. Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation (+62 813-3910-9057)
  2. Hasnu Ibrahim, Koordinator Pemantau Pilkada Lokataru Foundation di Tanah Papua (+62813-3833-1562)