* sudah dimuat di kolom opini www.jawapos.com per tanggal 18 Oktober 2022
Hari-hari ini publik seperti menonton serial drama polisi yang menegangkan. Alur cerita yang mengejutkan membuat tak sedikit orang berseloroh dengan mengatakan, ”setelah ini, ada kehebohan apa lagi dari ‘studio bioskop’ polisi?” Situasi itu tentu membuat orang penasaran dengan kelanjutan cerita yang disebut ‘bersih-bersih’ internal Polri tersebut. Termasuk cerita di balik bintang-bintang yang jatuh itu.
Cerita plot twist memang menarik. Apalagi, lampu sorotnya tertuju langsung pada Polri, institusi penegak hukum yang nyaris hadir di semua lini kehidupan masyarakat, yang personelnya tersebar di seluruh wilayah negeri ini. Maka tak heran jika sisi lain, khususnya cerita kontroversi tentang polisi, menjadi plot cerita yang menarik dalam setiap obrolan warga.
Tulisan ini tidak untuk membedah kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang dilakukan Ferdy Sambo dkk. Apa yang ingin disampaikan juga bukan spesifik membahas Tragedi Kanjuruhan Malang 1 Oktober lalu. Ketika itu 132 suporter Arema FC meregang nyawa akibat gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian. Bukan pula mengulik tentang indikasi kejahatan Irjen Pol Teddy Minahasa Putra yang diduga menjual sabu sitaan kepada pengedar narkoba.
Bagi sebagian kalangan, penanganan kasus kejahatan yang diduga melibatkan oknum aparat penegak hukum (APH), khususnya kepolisian, memang sesuatu yang ditunggu-tunggu. Bisa dibilang, penulis termasuk dalam golongan itu. Apalagi sudah terlalu banyak cerita miring tentang polisi yang selama ini hanya berseliweraan di media massa dan media sosial.
Penulis sepakat dengan terungkapnya sederet kasus di atas layak dijadikan momentum bersih-bersih internal Polri. Narasi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang tidak akan pandang bulu memberangus kejahatan, terlebih yang dibekingi anak buah sendiri, penting untuk terus ditagih publik.
Jika di dalam tubuh Polri ada mafia judi dan mafia narkoba yang canggih dalam merekayasa kasus, sekarang pertanyaannya; bagaimana Polri melihat kasus-kasus pertanahan dan sumber daya alam (SDA) yang selama ini nyaris tidak tersentuh dan jauh dari hingar-bingar media? Apakah lampu sorot akan diarahkan juga kepada mafia tanah dan SDA di dalam tubuh kepolisian?
Meski tak spesifik, indikasi bahwa APH, khususnya kepolisian, ‘bermain’ dan mendapat keuntungan dari kejahatan yang seharusnya diungkap telah terceletuk dari cuitan Menko Polhukam Mahfud MD belum lama ini. Mahfud menyebut banyak pengaduan masyarakat yang dijadikan alat untuk memeras pihak terlapor. Situasi yang benar-benar membuat miris, tapi ironisnya kerap hanya dianggap oknum.
Mafia Tanah dan SDA
Adakah mafia tanah dan SDA dalam tubuh kepolisian? Ini yang akan saya bahas. Sebenarnya, dalam konteks SDA, banyak laporan masyarakat sipil terkait dengan dugaan kejahatan pertambangan, khususnya nikel dan batubara. Pun, laporan terkait dengan kejahatan lingkungan seperti pembalakan (illegal loging) dan pembakaran hutan. Serta kejahatan pertanahan seperti perampasan tanah dan sengketa lahan. Namun, hampir semuanya tidak ditangani secara transparan dan akuntabel. Pembiaran kasus-kasus semacam ini dan pengabaian laporan adalah titik awal indikasi praktik mafia tanah dan SDA dalam tubuh kepolisian. Secara tidak langsung, pernyataan Mahfud di atas telah menjawab situasi ini.
Pembiaran dan pengabaian laporan masyarakat adalah pemicu naiknya konflik agraria di lapangan. Pada 2021 lalu Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan catatan kejadian 207 letusan konflik yang tersebar di 32 provinsi. Tepatnya di 507 desa. Kejadian konflik tersebut melibatkan 198.895 kepala keluarga (KK) sebagai korban terdampak. Sementara luasan tanah yang berkonflik berkisar kurang lebih setengah juta hektare.
Letusan konflik agraria adalah penanda utama terjadinya praktik mafia tanah. Dalam hal ini, mafia tanah bukan sekadar masalah maladministrasi pertanahan semata. Lebih dari itu, praktik mafia tanah berkorelasi langsung dengan konflik agraria struktural dan melibatkan persekongkolan jahat banyak pihak. Di dalamnya ada aparat birokrasi, pemerintahan dan APH.
Terdapat beberapa pola dugaan keterlibatan aparat Polri dalam konflik agraria, yang mana hal itu bisa dirasakan masyarakat secara langsung.
Pertama, keterlibatan pasukan polisi di lapangan yang berujung pada penangkapan, penganiayaan dan penembakan warga sipil. Tindakan represif itu menjadikan polisi sebagai aktor utama kekerasan.
Kedua, pemidanaan tidak sah yang berpotensi menjadi kriminalisasi. Istilah ini dipakai untuk menunjukkan bahwa aspek pemidanaan kepada masyarakat lebih ditujukan untuk meredam, menakut-nakuti, dan menghilangkan keberanian masyarakat dalam menuntut keadilan atas peristiwa perampasan tanah. Ini membuat situasi ketidakadilan agraria yang dialami masyarakat semakin berlipat.
Ketiga, pemidanaan atas kejadian konflik agraria tanpa usaha lanjutan menjangkau penyidikan akar masalah letupan konflik agraria. Baru kemudian disusul pola keempat, yakni pengabaian laporan masyarakat dan percepatan laporan pemodal dalam konfik dan sengketa tanah.
Pola keterlibatan tersebut menjadi pemicu suburnya mafia tanah di instansi lainnya, khususnya di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sebagai contoh, konflik yang terjadi di Desa Suka Mukti, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel. Pada Desember 2021 silam masyarakat setempat mengalami penggusuran, kriminalisasi dan kekerasan. Mereka dianggap telah tinggal di atas lahan milik PT. TMM. Padahal, sejak 2020 warga transmigran yang tinggal di atas tanah tersebut telah memiliki sertifikat hak milik (SHM).
SHM itu diperoleh warga yang mengajukan sertifikasi tanah atas cadangan transmigrasi yang telah ditempati selama puluhan tahun melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di BPN OKI. Mereka juga sempat membayar Rp 10 juta per bidang tanah kepada pejabat BPN. Pengajuan itu kemudian ditindaklajuti BPN. Dan pada Maret 2020, BPN mengeluarkan 36 SHM bagi warga.
Namun, pada awal 2021, pejabat kantor pertanahan OKI tiba-tiba mendatangi rumah warga dan mengambil paksa 31 dari 36 sertifikat tanah tersebut. Tak ada alasan jelas dari pengambilan paksa sertifikat itu. Pejabat BPN hanya menyampaikan jika sertifikat akan diamankan. Bersamaan dengan itu, warga dijanjikan kerja sama kebun plasma oleh pejabat BPN.
Gejala dari praktik mafia tanah akhirnya terendus pada Juli 2021. SHM warga yang diambil paksa tadi dinyatakan tumpang tindih dengan sertifikat hak guna usaha (SHGU) No. 45 milik PT. TMM. Berbekal SHGU itu, perusahaan mengklaim tanah tersebut adalah haknya. Tak lama setelah itu, aparat kepolisian lantas bergerak melakukan penggusuran dan mengkriminalisasi warga dengan dalih menduduki lahan HGU secara ilegal.
Tak hanya di pelosok, persoalan mafia tanah di perkotaan juga tak kalah menarik. Salah satunya kasus pembatalan 20 SHM atas nama Benny Simon Tabalujan beserta 38 SHGU turunan atas nama PT Salve Veritate. Lokasinya di Cakung, Jakarta Timur. SHM dan turunannya itu dibatalkan melalui surat Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi DKI Jakarta bernomor: 13/Pbt/BPN.31/IX/2019 tanggal 30 September 2019. Sebagai gantinya, BPN Jakarta kemudian menerbitkan SHM No. 04931 atas nama Abdul Halim.
Singkat cerita, surat pembatalan dan penerbitan SHM itu dianggap cacat prosedur oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Eks Kepala BPN DKI Jakarta Jaya yang mengeluarkan surat pembatalan tersebut pun tengah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dinilai melakukan perbuatan pidana. Yakni pemalsuan dokumen atau pelanggaran terhadap Pasal 263 KUHP.
Potongan kasus-kasus di atas memang belum sepenuhnya menggambarkan betapa parahnya kejahatan pertanahan yang ditengarai melibatkan aparatur negara. Mengingat situasi tersebut, kepolisian sebenarnya telah membentuk Satgas Anti Mafia Tanah. Namun satgas ini agaknya kurang mujarab untuk memberantas kejahatan itu. Situasi ini tentu semakin menguatkan bahwa memang banyak oknum aparat kepolisian yang turut ‘bermain’ dalam praktik mafia tanah. Bahkan, jangan-jangan ada komplotan besar di tubuh kepolisian yang sengaja menyuburkan praktik mafia tanah? Pertanyaan ini selamanya akan jadi pertanyaan jika tak ada niat serius dari Polri untuk membongkar mafia tanah di internal mereka sendiri.
Bukan hanya ketegasan Polri yang dibutuhkan, situasi kronis ini agaknya juga perlu mendapat perhatian luas dari masyarakat. Rasanya kok kurang afdol jika kasus-kasus besar di sektor agraria ‘sepi’ penonton. Saya berharap lampu sorot warga sipil juga ramai diarahkan ke(a)parat dan mafia tanah. Tentu lampu itu diharapkan bisa membuat semua jejak hitam yang ditutup-tutupi menjadi transparan dan terang benderang.
Berkaca pada kasus Sambo, di titik ini media massa punya peran penting. Salah satunya mengabarkan secara gamblang betapa gilanya persoalan mafia tanah yang sudah banyak merampas hak-hak masyarakat di negeri ini.